Press ESC to close

Begini Cara Mengurangi Prevalensi Anak Merokok yang Benar

Selama ini salah satu dalih dari kenaikan cukai adalah demi mengurangi prevalensi anak merokok. Data dari Kementerian Kesehatan menyebut bahwa jumlah perokok di bawah umur terus meningkat tiap tahunnya. Oleh sebab itu, salah satu cara yang dipilih untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menaikan cukai dan harga rokok.

Sekilas hal itu terasa benar, padahal tidak. Menaikkan harga (lewat kenaikan tarif cukai) agar rokok tak terjangkau telah dilakukan setiap tahun. Tarif cukai naik 23% tahun ini, dan tahun depan juga akan naik hingga 17%. Namun, hingga hari ini, prevalensi anak merokok masih terus tinggi. Pertanyaannya, apakah cara yang dipilih pemerintah ini sudah benar?

Satu hal yang harus dipahami, prevalensi anak merokok hanyalah dalih untuk menaikan cukai. Jadi, bukannya demi prevalensi turun maka cukai dinaikkan, tetapi agar tarif bisa naik prevalensi dijadikan dalih. Dan hal ini telah terbukti gagal menurunkan angka perokok di bawah umur yang menjadi masalah kita selama ini.

Sebenarnya, satu-satunya cara untuk mengurangi prevalensi anak merokok adalah dengan menegakkan aturan terkait pembelian rokok. Ya, mau berapa pun harganya, selama aturan pembelian belum bisa berjalan, anak-anak masih bisa mengakses dan mendapatkan rokok. Tinggal bagaimana penegakkannya saja dijalankan agar akses itu bisa benar-benar tertutup untuk mereka.

Baca Juga:  Mewaspadai Kepentingan Bisnis di Balik Produk Alternatif Pengganti Tembakau

Begini, jika harga mahal, ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar mereka bisa mendapatkan rokok. Ketika harga rokok tinggi, anak-anak dengan uang jajan berlebih masih bisa mengakses. Kalau pun tidak punya uang untuk beli sebungkus, bisa eceran. Kalau pun tidak bisa eceran, mereka bisa patungan untuk membeli sebungkus rokok. Ada begitu banyak cara untuk itu.

Maka, ketika aturan pembelian ditegakkan, anak-anak akan susah mengakses rokok. Karena mau sekaya apa pun atau sebanyak apa pun uang yang dibawa, mereka tetap tidak bisa atau boleh membeli rokok. Tinggal tegas saja pada para penjual agar tak lagi menjual rokok pada mereka yang berusia di bawah 18 tahun.

Jika para penjual bandel, tegur dan berikan sanksi. Toh berdasar aturan memang pembelian rokok hanya boleh dilakukan pada mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Ketika ada yang menolak, ya tinggal ditindak.

Saya kira, inilah cara terbaik untuk mengurangi prevalensi anak merokok. Daripada alasan untuk prevalensi makanya naikin tarif cukai dan harga rokok, eh malah prevalensinya tetep naik. Kan malu juga itu orang-orang yang dorong kenaikan cukai.

Baca Juga:  Mirip tapi Beda: Dilema Bahasa Perokok Pasif
Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit