Press ESC to close

Cukai Rokok 2021 Naik Karena Alasan Kesehatan?

Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah resmi mengumumkan bahwa tarif cukai rokok 2021 akan naik. Kenaikan kali ini menyentuh angka 12,5 persen. Pengumuman ini telah memicu reaksi banyak pihak, terutama petani tembakau.

Dalam pernyataannya, Sri Mulyani menyebut ada beberapa faktor pertimbangan sebelum memutuskan berapa besaran kenaikan cukai rokok tahun depan. Di antaranya adalah faktor perekonomian negara di tengah pandemi COVID-19 dan kedua adalah faktor kesehatan. Pernyataan ini layak dipertanyakan.

Pertama, ekonomi negara sedang menghadapi guncangan. Indonesia dan banyak negara lain tengah menghadapi resesi ekonomi yang merupakan dampak tak terhindarkan dari krisis kesehatan. Pertanyaannya, apa manfaat ekonomis yang didapat negara dengan menaikkan tarif cukai rokok?

Seperti yang kita tahu, cukai hasil tembakau (CHT) adalah donatur terbesar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari sektor cukai. Milyaran rupiah masuk ke kas negara tiap tahun dari sektor pertembakauan. Berdasarkan fakta itu jelas bahwa pemerintah tergiur dengan dana segar yang berpotensi diraih dari tanaman berjuluk ’emas hijau’ ini.

Sayangnya, sikap tersebut sangat tidak sensitif mengingat belum kering luka yang dirasakan para petani dan stakeholder pertembakauan yang lainnya. Luka tersebut lahir dari kebijakan cukai tahun lalu.

Baca Juga:  Menilik Kepentingan dari Sertifikasi Bibit Tembakau

Negara menentukan kenaikan tarif hingga 23 persen untuk 2020. Belum lama berjalan, pandemi datang. Industri rokok, sebagai sektor yang paling banyak menyerap tembakau, mengalami guncangan hingga harus mengurangi produksi karena daya beli masyarakat yang lemah. Efek domino dirasakan juga di hulu, panen tembakau bertumpuk di gudang. Tidak terserap.

Menjelang pergantian tahun, negara menaikkan tarif cukai lagi. Kebijakan yang rasanya kurang bijak. Para petani tembakau bersiap menyambut luka baru di tahun baru.

Faktor kesehatan juga jadi salah satu variabel dalam menentukan besaran tarif. Rokok dianggap sebagai salah satu sumber penyakit dan biang masalah kesehatan dalam negeri. Dari situ pemerintah berencana menekan jumlah perokok dengan kebijakan cukai. Pertanyaannya, benarkah kenaikan tarif cukai berimplikasi langsung pada penurunan prevalensi perokok?

Begini. Dari tahun ke tahun tarif cukai selalu naik. Di saat yang sama, otoritas kesehatan bersama lembaga-lembaga antirokok terus menyebut bahwa prevalensi perokok naik. Artinya, mereka sendiri yang membuktikan bahwa tidak ada implikasi langsung antara kenaikan cukai dengan penurunan jumlah perokok.

Baca Juga:  Gerakan Literasi dan Donasi Buku dari Tembakau

Semakin ironis jika kita mengingat kembali ke masa sebelum Pilpres 2019. Saat itu (tahun 2019) Presiden Jokowi memutuskan tidak ada kenaikan tarif cukai. Dan tak lupa juga Perpres yang mengalokasikan uang dari cukai rokok sebagai dana talangan untuk menambal defisit anggaran BPJS Kesehatan. Pernyataan dan sikap pemerintah kerap kontradiktif.

Kita tentu mahfum bahwa ada kepentingan ekonomi politik di balik setiap kebijakan. Sialnya, kepentingan tersebut selalu diwacanakan atas nama rakyat. Padahal, kalau pemerintah benar-benar menganggap bahwa rokok berbahaya dan menjadi sumber masalah kesehatan, ya tutup saja pabrik rokoknya. Faktanya, negara ini tidak berani.

Jadi, wajar saja jika argumentasi kesehatan soal rokok yang keluar dari otoritas pemerintahan sangat diragukan validitasnya.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd