Tahun lalu konsumen rokok dikagetkan dengan kenaikan cukai yang besarannya mencapai 23% yang tentu saja berimbas pada kenaikan harga rokok eceran yang cukup signifikan. Tahun ini, tarif cukai rokok juga mengalami kenaikan yang cukup besar, sekalipun tak sebesar tahun sebelumnya, pada angka 12,5%. Sekali lagi, tentu imbasnya adalah kenaikan harga rokok di tingkat eceran.
Kenaikan harga rokok ini diharapkan bisa memenuhi target pendapatan negara dari cukai rokok sebesar Rp 173 triliun pada 2021. Bisa jadi, angka yang besar tersebut menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menutupi kondisi ekonomi yang tengah mengalami resesi akibat dari pandemi covid-19. Terlebih juga pada saat ini, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada 2020 mencapai USD 413,4 miliar, atau sekitar Rp 6.074 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar USD 203,0 miliar, dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 210,4 miliar.
Pada masa resesi seperti sekarang ini, ekonomi untuk bisa tumbuh atau pulih kembali membutuhkan waktu yang panjang. Sehingga pilihan paling mudah bagi pemerintah adalah memaksimalkan berbagai pemasukan negara, di mana cukai adalah salah satu pemasukan yang pasti dan besar. Uang yang didapat negara dari cukai memang menjadi serapan yang sangat empuk untuk menutupi segala kekurangan akibat dari resesi.
Situasi ekonomi ini bertemu dengan keinginan dari sebagian pihak yang terus mendorong untuk menurunkan jumlah perokok dengan dalil kesehatan. Sri Mulyani menjadikan alasan ini sebagai salah satu pertimbangan untuk menaikan cukai rokok. Dengan kenaikan cukai rokok, maka diharapkan akan mengurangi prevalensi merokok pada anak, perempuan, dan orang dewasa.
Komnas Pengendalian Tembakau dalam surveinya menyebutkan bahwa selama masa pandemi hampir 50 persen perokok tak absen membelanjakan uang untuk memenuhi kebiasaan merokok. Tak mengherankan sebenarnya, mengingat rokok menjadi salah satu medium relaksasi bagi masyarakat untuk menenangkan diri dari stres karena pandemi, sehingga kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh negara untuk mengeruk uang dari konsumen rokok yang diperkirakan masih akan membelanjakan uangnya untuk konsumsi rokok selama pandemi berlangsung.
Dalam sebuah diskusi publik pada Agustus 2020 lalu, Pungkas Bahjuri Ali, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, dalam presentasinya tentang arah kebijakan Industri Hasil Tembakau yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, secara tegas mengarahkan pada penyederhanaan tarif cukai serta peningkatan tarif cukai tembakau. Hal itu semakin teryakinkan ketika Menteri Keuangan, Sri Mulayani, menyatakan sengaja menaikan cukai rokok agar rokok semakin jauh dari daya beli masyarakat. Sehingga dapat dipastikan bahwa kenaikan cukai di tahun-tahun berikutnya akan selalu tinggi jumlahnya.
Perlu digaris bawahi, sekalipun pabrikan harus membayarkan lebih dahulu cukai rokok untuk kemudian diproduksi, namun kebijakan kenaikan cukai ini sejatinya menyasar perokok karena pada ujungnya konsumenlah yang harus menanggung penuh biaya cukai, sementara pabrikan hanya “menalangi” saja di awal. Tapi sayangnya memang kenaikan cukai rokok yang tiap tahunnya selalu tinggi, bahkan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi, lebih tinggi dari prosentase kenaikan nilai upah minimum.
Media bisnis.com, pada tanggal 10 Desember 2020, setelah pengumuman kenaikan cukai, melansir berita bahwa pabrikan-pabrikan besar yang telah bersifat terbuka, mengalami penguatan saham. PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) meningkat 3,06 persen atau 55 poin, PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) naik 3,78 persen, PT Bentoel International Investama Tbk. (RMBA) juga menguat 3,74, PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) melejit paling tinggi dengan kenaikan 7,56 persen.
Sementara itu, untuk pabrikan berskala kecil menengah dapat dipastikan akan mengalami kesulitan untuk penyesuaian produksinya karena harus menanggung beban modal produksi di awal guna membeli cukai tembakau. Bahkan hal ini diamini oleh pemerintah melalui Kementerian Perindustrian terkait bangkrutnya pabrikan kecil menengah akibat dari kenaikan cukai terus menerus dengan persentase yang tinggi.
Begitu pula dengan para petani tembakau dan cengkeh, kondisi mereka tentu juga dengan mudah diprediksi. Serapan pabrikan atas bahan baku rokok yang diproduksi oleh petani akan berkurang, dan pada akhirnya mereka harus mencari jalan sendiri untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonominya.
Di mana Suara Konsumen?
Konsumen rokok sebagai mata rantai paling akhir dari industri rokok harus menerima nasib sial atas kebaijakan kenaikan cukai tembakau. Pertama tentu saja karena harus menanggung biaya kenaikan cukai yang artinya kenaikan harga rokok di tingkat eceran. Kedua, adalah tidak dilibatkannya konsumen dalam pengambilan kebijakan yang berdampak langsung bagi konsumen.
Jangan katakan bahwa suara konsumen itu terwakili oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, karena pada prakteknya lembaga ini justru kerap bertentangan dengan suara konsumen. Bukan hanya pada kebijakan cukai rokok, di mana YLKI juga mendukung kenaikan, tapi juga pada kebijakan lain seperti kenaikan BBM, misalnya.
Bagi pemerintah, suara konsumen rokok mungkin saja telah terwakili oleh DPR. Di mana dalilnya akan dikatakan bahwa kebijakan ini telah dikonsultasikan oleh DPR. Namun seperti kita ketahui, bahwa mayoritas anggota DPR sekarang ini–dan periode-periode sebelumnya–diisi oleh partai-partai yang menjadi bagian dari pendukung pemerintah.
Sayangnya di sistem ekonomi politik di negeri ini, kebijakan yang berkaitan langsung dengan kepentingan konsumen tak pernah melibatkan suara konsumen sebagai bahan pertimbangan. Suara konsumen yang tak pernah dilibatkan juga bukan hanya berlaku pada konsumen rokok, pada kasus kenaikan BBM, kenaikan TDL, dll., konsumen tak dilibatkan secara langsung. Artinya, keran-keran partisipasi kebijakan yang berdampak langsung pada konsumen, tidak dibuatkan jalurnya oleh negara yang mendaku sebagai negara demokratis ini.
Situasi seperti ini kiranya tak bisa lagi hanya direspon oleh konsumen dengan mengeluh atau melawan kebijakan tersebut dengan sebuah tagar tertentu. Begitu juga tak bisa lagi direspon dengan melakukan penyesuaian belanja rokok dengan membeli produk yang lebih murah atau dengan melinting tembakau, karena semua hal tersebut adalah bentuk dari adaptasi konsumen terhadap kondisi yang ada, dalam hal ini kondisi kenaikan harga rokok, dan bukanlah sebuah bentuk perlawanan yang riil.
Protes keras kepada pemerintah kiranya menjadi satu opsi yang harus disiapkan oleh konsumen rokok untuk memberikan perlawanan kepada kebijakan yang merugikan konsumen. Dengan cara dan bentuk seperti apa perlawanan tersebut dilakukan, konsumen rokok sendiri yang harus mampu merumuskan. Mungkin salah satu cara awal yang bisa ditempuh adalah mendobrak sistem tata negara untuk bisa mendapatkan akses partisipatif ketika negara membuat sebuah kebijakan.
Tulisan ini memang tidak sedang memberikan gambaran tentang langkah-langkah perlawanan konsumen atas kebijakan yang merugikan konsumen, melainkan hanya memberikan gambaran secara umum tentang posisi konsumen rokok dari sebuah kebijakan bernama kenaikan tarif cukai hasil tembakau.
Tentang rumusan perlawanan konsumen, masih perlu dibahas lebih jauh lagi di antara para konsumen, mengakomodir setiap suara dan masukan dari konsumen rokok, lalu merumuskannya secara detail, sekaligus mengajari negara tentang berdemokrasi dan tentang makna dari partisipasi publik.
- Cukai Rokok dan Suara Konsumen - 14 December 2020
- Cukai Rokok, FCTC, dan Pengaruhnya Bagi Dunia Film - 6 March 2020
- Saya Perokok Asbak - 19 October 2016