Press ESC to close

Cukai Rokok SKT Sudah Sewajarnya Tidak Naik

Kenaikan cukai 2021 bagi semua produk rokok menjadi beban yang tak terhindarkan. Meski, untuk cukai rokok SKT kenaikan itu tak berlaku. Namun, penurunan kuota produksi sebagai langkah efesiensi pabrikan akan terus berlanjut.

Pengaruh dari efesiensi ini jelas memberi pengaruh terhadap serapan ekonomi di hulu. Petani tembakau nelangsa lagi. Kondisi pandemi membawa kabar ketidakpastian. Harga tembakau niscaya anjlok lagi. Biasanya, akibat dari kenaikan cukai ini akan dibarengi maraknya peredaran rokok ilegal.

Tidak ada yang patut diacungi jempol dari kebijakan cukai terbaru. Bebanan cukai 2020 saja telah membuat anjlok sektor cengkeh. Ingat, produk rokok dalam negeri ini kompisinya juga melibatkan cengkeh. Jadi, tidak hanya berdam[ak terhadap petani tembakau.

Biar tahu saja nih, Bos. Di hulu industri rokok dalam negeri, banyak golongan masyarakat yang bergantung hidup dari aktivitas ekonomi pertembakauan. Mulai dari proses tanam sampai pasca panen. Menurunnya permintaan tembakau dari pabrikan, jelas berimbas ke sektor usaha lain yang beririsan.

Lantas, jika cukai rokok SKT tidak naik akan serta merta mengubah dampak yang ditimbulkan? Tentu tidak. Pihak pemerintah mungkin melihat ini sebagai langkah positif, dengan pertimbangan ekonomi padat karya dari sektor SKT.

Baca Juga:  Ketika Hukum Merokok Menurut MUI Dipelintir Kepentingan

Sejatinya, tidak ada yang membanggakan dari langkah itu. Bahkan, semakin jelas saja ketergantungan pemerintah terhadap pemasukan dari sektor rokok. Dalil untuk menekan konsumsi rokok dengan menaikkan cukai semakin terlihat bias kepentingannya. Isu kesehatan hanyalah kedok belaka.

Berdasar catatan pemerintah, sepanjang pandemi Covid-19 mulai dari April hingga November 2020, utilisasi produksi oleh industri rokok hanya sebesar 57,5 persen. Angka ini turun dari sebelumnya, di kisaran 66 persen.

Di balik ini, sebetulnya kentara sekali kekuatiran pemerintah jika cukai SKT dinaikkan. Logika sederhananya, pemerintah kuatir akan terjadinya lonjakan pengangguran. Satu hal yang mesti menjadi perhatian, rokok golongan SKM dan SKT ini saling terhubung.

Sederhananya begini, tak sedikit pabrikan yang memproduksi SKM juga memproduksi SKT. Pabrikan akan mengurangi kuota produksi untuk SKM, sementara pasar SKT sulit bersaing dengan pasar SKM. Langkah subsidi silang kerap terjadi, namun tetap tidak ada peningkatan yang didapat. Wong, beli pita cukainya mahal.

Bisa dibilang tidak ada cuan dari skema semacam ini, justru bayang-bayang kebangkrutan akan semakin nyata saja. Pasar SKM selama ini menjadi andalan pabrikan untuk menopang sektor SKT-nya, lha kalau SKM-nya jatuh mau menopang SKT dari mana?

Baca Juga:  Bandung, Kota yang Mengabaikan Penyediaan Ruang Merokok

Dengan naiknya cukai yang berarti semakin mahalnya harga rokok, inilah yang kemudian membuat perokok banyak yang beralih. Mulai dari beralih ke tingwe bahkan ke rokok murah, rokok murah di sini ya rokok ilegal. Pasar rokok ilegal akan semakin sulit ditekan jika cukai terus jadi ladang permainan rezim kesehatan.

Pada intinya, walau cukai rokok SKT tidak naik, bukan berarti itu kearifan pemerintah. Iya itu hal wajar, agar pemerintah tetap bisa kejar target penerimaan dari cukai. Tapi, pertanyaannya, apakah dengan skema yang menggocek publik ini akan sebangun dengan target pemerintah? Saya pribadi tidak optimis.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah