Peringatan dilarang merokok bisa dengan mudah kita temukan di berbagai ruang publik. Kita bisa menemukannya di dalam transportasi umum, di gedung perkantoran, di dalam mall, bahkan di dalam toilet yang ada dalam mall. Masuk mall saja sudah jelas dilarang merokok, siapa pula yang terpikir merokok dalam toilet mall?
Intinya, semua hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan utama para pengelola ruang publik kepada perokok adalah dengan larangan.
Kita (perokok waras pada umumnya) tentu sepakat bahwa di ruang publik tersebut memang tak lazim untuk merokok. Itu sudah naluri. Sebagai contoh, saya tidak akan merokok sambil asyik buang air besar di toilet mall, sekalipun tidak ada peringatan “DILARANG MEROKOK” yang berukuran besar di sana. Saya kira kita sepakat soal itu.
Wacana soal larangan merokok bahkan sudah berkembang. Kini banyak daerah yang berlomba-lomba menyabet gelar Kota Layak Anak. Salah satu poin utama yang dijadikan indikator adalah larangan merokok. Iya, dilarang merokok di Kota Layak Anak.
Berdasarkan situs kla.id definisi dari Kota/Kabupaten Layak Anak adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Ada banyak poin yang jadi fokus program KLA. Pertanyaannya, mengapa di tiap pemberitaan menyoal KLA kebanyakan membahas perihal rokok?
Tidak sedikit daerah yang gencar menggalakkan program KLA dengan edukasi bahaya rokok pada anak. Tidak ada yang salah. Kita sepakat bahwa anak-anak bukanlah subjek yang diperkenankan merokok. Tapi, konteks pemenuhan hak anak bisa diterjemahkan ke dalam beberapa diskursus, kenapa fokusnya cenderung pada pelarangan merokok dan iklan rokok.
Agenda tersebut sarat kepentingan antirokok. Maksudnya, agenda pengendalian (atau bahkan pemberangusan) rokok adalah tugas inti lembaga-lembaga antirokok. Padahal, sebuah daerah bisa tetap memenuhi hak anak tanpa harus mendiskriminasi dan mengeliminasi hak perokok.
Celakanya, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada satu waktu mensyaratkan kepada kabupaten/kota yang menginisiasi KLA harus bebas asap rokok. Secara tidak langsung, dengan skenario yang tersusun sedemikian rupa, syarat tersebut mendiskriminasi perokok. Itu pula yang menyebabkan regulasi soal Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menjamur di berbagai daerah.
Klausul bebas asap rokok ini seakan-akan menempatkan persoalan perkotaan yang lebih krusial (seperti polusi udara akibat kendaraan, prevalensi anak jalanan, dan minimnya RPTRA) seolah tidak lagi penting. Padahal klausul bebas asap rokok itu sendiri tidak menjamin sebuah kota peduli pada tumbuh kembang anak.
Saya sepakat tentang konsep berbagi ruang yang ada dalam Perda KTR. Artinya, perokok sebaiknya tidak diperkenankan merokok di beberapa kawasan. Hanya saja perlu ada ruang merokok terpisah sebagai wujud kesetaraan hak. Selain itu, ketersediaan ruang merokok juga amanah konstitusi. Itu juga harus jadi perhatian para pemangku kebijakan.
Kembali ke persoalan KLA. Beberapa tahun belakangan, tren yang berkembang adalah pembuatan regulasi atau aturan hukum yang bermuatan materi kampanye antirokok. Dan sebagian besar daerah melakukannya punya tujuan meraih penghargaan. Ya, ada banyak penghargaan yang disematkan ke daerah-daerah yang berkomitmen pada agenda antirokok.
Sekali lagi, saya tidak menolak setiap upaya melindungi anak dari rokok. Saya juga sepakat bahwa perokok sebaiknya berkomitmen untuk menjauhi kawasan yang terdapat banyak anak-anak ketika hendak merokok (sekalipun tidak dilarang). Persoalannya adalah keberadaan penghargaan tersebut. Media kita sudah dibanjiri pemberitaan soal penghargaan-penghargaan macam itu. Kadang, ada satu daerah yang mendapat dua penghargaan serupa dari lembaga yang berbeda. Berlebihan!
Tujuan dari diadakannya penghargaan ini jelas untuk menimbulkan spirit persaingan antar daerah. Provinsi dan kabupaten/kota yang ada di Indonesia digiring ke dalam arena perlombaan “Daerah Paling Anti Rokok”. Dari persaingan ini, muncul wacana-wacana di tiap daerah yang belum memiliki regulasi antirokok, untuk segera membuat Perda KTR atau sejenisnya. Pada titik paling antagonis, bisa saja kita dilarang merokok di penjuru nusantara.
Dari sana muncul kecurigaan bahwa penghargaan-penghargaan tersebut adalah wacana persuasif kelompok antirokok untuk perlahan memangkas ruang perokok, hingga akhirnya menyingkirkan rokok. Karena sejatinya advokasi antirokok mengusung kepentingan ekonomi politik. Soal anak ya dagangan isu aja.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022