Hukum merokok, dalam konteks agama, adalah hal yang sulit diperdebatkan. Maksudnya, perkara halal dan haram akan melibatkan keyakinan setiap individu. Tapi, dalam konteks hukum positif tentu terbuka ruang diskusi, silang pendapat, bahkan perdebatan.
Sudah banyak daerah di wilayah Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Dan sebagaimana ketentuan konstitusi, hak perokok dalam bentuk ruang merokok harus tersedia. Sayangnya, masih banyak Perda KTR yang mengesampingkan poin itu.
Kebanyakan Perda KTR berorientasi pada pembatasan ruang saja. Maksudnya, semangat yang diusung oleh Perda KTR di banyak daerah adalah mempersempit ruang bagi perokok. Perkara hak perokok kerap dijadikan pertimbangan nomor sekian. Di titik inilah ruang diskusi dan perdebatan harusnya terbuka lebar.
Parahnya, banyak daerah yang memasukkan ketentuan pidana dalam Perda KTR yang disusun dan diberlakukan. Padahal, para pakar hukum pun masih berdebat tentang boleh atau tidaknya ketentuan pidana masuk dalam peraturan daerah, mengingat negara kita memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai ujung tombak pemidanaan yang legal.
Terbaru, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRD Aceh) tengah membahas Rancangan Qanun Kawasan Tanpa Rokok. Dan, ya, dalam regulasi yang tengah disusun tersebut terdapat ketentuan pidana.
Ada dua pasal yang menjelaskan tentang ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi pelanggar Qanun. Lagi-lagi, perokok dibayang-bayangi ancaman penjara.
Apakah merokok perbuatan melanggar hukum? Tidak. Apakah KUHP sebagai ujung tombak pemidanaan di Indonesia memuat ketentuan larangan merokok? Juga tidak. Lantas, mengapa peraturan daerah yang secara hierarkis berada di bawah undang-undang bisa memidanakan? Hal ini yang belum jelas.
Saya sepakat bahwa perokok perlu sadar akan ruang. Perokok yang santun pun tahu kapan dan di mana bisa merokok tanpa mengusik hak individu lain. Komunitas Kretek sudah dan akan selalu mengampanyekan nilai-nilai perokok santun. Tapi, soal pemidanaan adalah perkara lain.
Rokok adalah barang legal. Peredarannya diatur secara ketat oleh negara. Ada banyak regulasi, juga pungutan cukai serta pajak, yang menjadikan rokok legal. Dengan demikian aktivitas merokok pun aktivitas yang legal. Bahkan hak-hak konsumen rokok digaransi oleh konstitusi (lihat Putusan MK Nomor 57/PUU-IX/2011).
Kembali menyoal hukum merokok di berbagai daerah. Yang paling mengkhawatirkan adalah regulasi yang rentan menimbulkan kriminalisasi semacam ini justru terus menular ke berbagai daerah lainnya. Daerah-daerah yang belum memiliki Perda KTR justru berlomba-lomba membuatnya, bahkan tak ragu untuk turut memasukkan ketentuan pidana.
Kondisi dimana perokok terbelenggu oleh ancaman pidana, saya kira, justru menciderai semangat penyetaraan hak. Belum nampak itikad baik dari pemerintah untuk serius menyediakan ruang merokok, kok sudah sibuk bicara sanksi-sanksi. Pidana pula. Lagipula, sosialisasi dan teguran lisan rasanya lebih masuk akal untuk diberlakukan.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022