Absurd belaka selama ini yang menjadi dalih pemerintah dalam menaikkan tarif cukai. Bagaimana tidak, dalih yang sama terus direpetisi dari tahun ke tahun. Di antaranya untuk menekan angka perokok anak. Sebagaimana kita tahu, cukai oleh pemerintah dijadikan sebagai instrumen pengendali konsumsi.
Namun faktanya tak berbanding lurus, justru kenaikan cukai membawa dampak serius terhadap matinya pabrikan rokok. Dengan membuat harga rokok menjadi mahal tidak berarti membuat turun angka perokok di bawah umur. Perokok selalu punya pilihan lain untuk beralih.
Padahal nih ya, selama ini produsen rokok pun telah berlaku taat asas dengan mencantumkan larangan untuk tidak menjual rokok kepada insan di bawah umur. Soal promosi melalui iklan di televisi juga jam tayangnya sudah sesuai ketentuan yang berlaku.
Artinya, semua hal yang menyangkut aturan tentang rokok sudah jelas terangkum dalam peraturan pemerintah. Pihak produsen rokok sudah mentaati aturan yang menyangkut tata niaga produk legal tersebut.
Jadi, apa sih faktor yang membuat prevalensi perokok anak dianggap meningkat? Sebetulnya nih, jika memang dalih menaikkan cukai rokok untuk menekan prevalensi tersebut, ada beberapa cara inklusif yang harus diterapkan.
Iya kita sepakat, bahwa rokok memiliki faktor risiko. Kita sepakat, bahwa ada kategori masyarakat rentan yang sebaiknya disikapi dengan bijak oleh perokok. Makanya, upaya edukasi terkait perokok santun terus kita sampaikan agar menjadi bagian dari sikap keseharian.
Termasuk misalnya dengan tidak merokok di dekat anak, memastikan untuk merokok di teras rumah, tidak di dalam rumah. Ini merupakan bagian dari upaya inklusif tersebut, agar anggota keluarga tidak terpapar asap rokok. Kondisikan spot khusus di rumah untuk merokok.
Sekaligus pula ini menjadi cara untuk mengedukasi anak, bahwa merokok adalah aktivitas yang harus disertai rasa tanggung jawab. Bukan melulu memberi gambaran yang menakutkan tentang ancaman kesehatan, seperti yang selama ini menjadi instrumen antirokok untuk mendiskreditkan rokok.
Saya percaya, bahwa perokok santun cukup paham pentingnya upaya edukasi bagi sekitarnya, terutama di keluarga. Agar anggota keluarga juga bisa memahami produk legal bernama rokok ini adalah pilihan dewasa.
Selain itu, ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan untuk membatasi perokok di bawah umur. Misalnya dengan cara menunjukkan KTP. Jika tidak mampu menunjukkannya, pihak ritel harus tegas menolak.
Cara lain yang realistis dilakukan, adalah dengan memberi tanda peringatan di ritel yang menjual rokok. Bahwa rokok hanya dijual kepada mereka yang sudah cukup umur, sertakan juga keterangan untuk menunjukkan KTP. Tapi ya kalau konsumennya sudah terlihat dewasa, ketentuan itu tidaklah perlu.
Dengan demikian, tidak ada lagi juga orang dewasa yang dibenarkan menyuruh anak-anak membeli rokok. Bagi saya, beberapa gambaran itu akan efektif jika semua pihak dapat memahami dan melaksanakannya dengan semangat kesantunan. Tanpa tendensi untuk mendiskreditkan rokok ataupula perokok.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024