Press ESC to close

Petani Tembakau Menolak Keras Kenaikan Cukai 2021

Sudah sejak beberapa tahun lalu petani tembakau mengalami dampak regulasi cukai yang terus mencekik. Pada tahun 2020 saja kenaikan cukai tercatat yang paling tinggi sepanjang sejarah, terhitung mencapai 23%. Harga rokok pun naik secara gradual.

Kondisi itu tentu saja membuat industri rokok harus melakukan efesiensi, dampakanya jelas ke bahan baku tembakau. Permintaan pabrikan menurun sangat drastis, jelas ini membuat banyak petani harus putar otak demi terjual seluruh hasil panennya.

Jika harus sekadar menghadapi badai pandemi, industri rokok dijamin masih sanggup bertahan. Namun, di tengah kondisi nasional dilanda pageblug begini, kok ya pemerintah justru memberi beban kenaikan cukai yang gila-gilaan. Imbasnya dirasakan langsung di sektor hulu industri, Bos.

Sudahlah beban biaya produksi tinggi, kelangkaan pupuk bersubsidi juga berkontribusi pada kesengsaraan petani tembakau. Ini pemerintah seakan bersikeras mengejar target penerimaan cukai, seolah tak berempati melihat kondisi yang menyengsarakan stakholder pertembakauan.

Padahal ya, dampak kenaikan cukai tahun 2020 ini saja sudah sangat berat, mestinya pemerintah belajar dari kondisi tahun ini. Setidaknya dengan tidak memberi beban baru. Ini malah sebaliknya. Sulit dibayangkan jika petani tak lagi menghasilkan tembakau sebagai bahan baku utama industri. Target penerimaan cukai akan makin jauh panggang dari api. Negara mau dapat pemasukan besar dari mana lagi?

Sebagaimana kita ketahui, dalil kenaikan cukai bersandar pada isu kesehatan yang bertujuan membatasi konsumsi perokok. Dalih lainnya menyasar pada fenomena perokok anak. Padahal itu tak berbanding lurus dengan faktanya. Kalau mau serius soal itu, ya bukan cukai yang harus dinaikkan, tinggal penegakan di tingkat penjualannya. Sederhana saja.

Baca Juga:  Pemerintah Wajib Peduli Pada Pengembangan Budidaya Tembakau

Pada kondisi yang sudah sangat menekan ini, pemerintah malah menargetkan lagi kenaikan tarif cukai 2021 lebih tinggi. Sudah bisa dipastikan ini akan semakin memperburuk keadaan. Industri rokok jelas akan semakin memperkecil kuota produksi.

Permintaan industri pada rentang 2020 saja sudah minim, apalagi jika industri harus menanggun beban cukai yang tinggi di tahun depan. Sudahlah tahun 2020 banyak petani tembakau dibuat kelimpungan, ini malah ditambah beban tarif baru yang tak wajar.

Maka tidaklah keliru, jika keadaan ini membuat petani tambah geram, bahkan kemudian berencana melakukan upaya menjegal kenaikan cukai tahun depan pada Rapimnas APTI kemarin. Sulit dibayangkan jika semua petani harus turun ke jalan menyampaikan keluhan dan protesnya.

Bukan apa-apa, tembakau ini sudah menjadi sumber penghidupan petani sejak dulu. Jika permintaan industri anjlok—kabarnya mengalami penurunan sampai belasan persen—otomatis berdampak pada pembatasan kuota produksi, berdampak langsung ke permintaan tembakau dan cengkeh.

Industri rokok dalam negeri yang notabene memproduksi beragam jenis produk kretek. Seperti yang sudah diketahui, pembeda rokok putihan dengan kretek ya unsur cengkehnya itu. Di Bali, misalnya, para petani cengkeh telah mengeluhkan betapa sulitnya mereka menjual cengkeh dengan harga normal saat ini.

Baca Juga:  Elias Alderete dan Fenomena Pesepakbola Merokok

Sebagai catatan, rerata harga cengkeh ketika panen berada di kisaran Rp 90 ribu hingga Rp 130 ribu. Namun, akibat turunnya permintaan industri, harga pasaran cengkeh saat panen kemarin hanya berkisar di Rp 45 ribu hingga Rp 65 ribu.

Padahal nih ya, jika mengacu target penerimaan cukai rokok tahun 2020 yang ada di angka Rp 171,9 triliun, target ini kemudian berkurang di APBNP 2020, hingga hanya menjadi Rp 164,9 triliun. Angka ini berada di bawah total penerimaan cukai rokok tahun 2019 yang ada di kisaran angka Rp 165 triliun.

Data ini jelas menjadi bukti, bahwa naiknya tarif cukai tak mesti seiring naiknya penerimaan cukai. Upaya pemerintah dalam menggenjot pendapatan dari sektor rokok ini menimbulkan pertanyaan kritis, ini pemerintah mau kejar pendapatan atau mau membunuh sumber hajat hidup petani sih?

Maka itu, jangan salahkan stakeholder jika kemudian berkonsolidasi menyusun rencana protes besar-besaran nantinya ke pemerintah. Ingat loh, kalau sudah perkara perut dan nasib keluarga, rakyat punya cara sendiri yang akan merongrong tidur nyenyak penguasa.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah