Kalau ada pihak yang paling dipusingkan dengan kebijakan kenaikan tarif cukai 2021, boleh jadi mereka adalah petani tembakau. Betapa tidak, perkara kenaikan cukai di awal tahun dan krisis akibat pandemi belum usai dirasakan dampaknya, kini mereka harus bersiap menanggung beban baru di tahun baru yang akan datang.
Secara umum, semua stakeholder pertembakauan (dari hulu ke hilir) jelas terdampak kenaikan cukai. Dari petani hingga konsumen rokok akan sama-sama merasakan langsung efek dari kebijakan ini. Tapi nasib petani tembakau (juga cengkeh, tentunya) tetap butuh perhatian khusus, tanpa bermaksud mengadu nasib siapa yang paling sial.
Kenaikan tarif cukai rokok pada awal tahun 2020 (sebesar 23 persen) menyebabkan penurunan jumlah produksi dari industri rokok. Sedangkan, industri rokok adalah sektor yang paling banyak menyerap hasil panen tembakau nasional. Maka, penurunan jumlah produksi akan membawa konsekuensi logis yakni penurunan jumlah serapan tembakau.
Menghadapi itu, stakeholder pertembakauan masih cenderung bertahan–meski tertatih. Namun, mimpi buruk belum usai. Baru berjalan sekitar tiga bulan, pandemi global menyentuh bumi nusantara. Krisis kesehatan memaksa umat manusia beristirahat dari rutinitas dunia pada umumnya.
Perkantoran ditutup, sekolah ditutup, pusat perbelanjaan ditutup, dan akses pelayanan publik lain serba terbatas. Apa dampaknya? Pemutusan hubungan kerja terjadi secara masif, pendapatan masyarakat terjun ke titik nadir, roda ekonomi tidak berputar, pada akhirnya krisis kesehatan berubah kualitas menjadi krisis ekonomi.
Krisis ekonomi memukul semua sektor. Tak terkecuali industri hasil tembakau (IHT). Meski secara historis IHT tahan badai, tapi kali ini pukulannya sangat dahsyat. IHT adalah industri padat karya, tempat jutaan manusia menggantungkan hajat hidupnya. Hantaman badai krisis ke industri jelas akan berdampak ke tubuh jutaan manusia.
Sempat bertahan meski tertatih, IHT semakin terpuruk. Sudah jatuh karena kenaikan cukai, tertimpa pandemi pula. Itulah mimpi buruk dalam dua malam beruntun.
Negara sadar betul bahwa IHT merupakan salah satu penopang keuangan (terutama dari sektor cukai). Lahirlah formula relaksasi pembayaran cukai selama tiga bulan bagi pabrikan. Faktanya, relaksasi tersebut tak mengurangi beban, hanya menunda pelunasan saja. Setelah tiga bulan semua harus dilunasi. Sedangkan, dalam tiga bulan tersebut krisis masih belum disembuhkan. Ekonomi belum pulih.
Pada titik ini, petani tembakau semakin meringis. Hasil panennya menumpuk di gudang. Pabrikan tak lagi mampu menyerap sebanyak biasanya akibat penurunan jumlah produksi. Sekalipun terjual, harganya tak lagi sama. Musim panen 2020 tak seindah periode sebelumnya.
Sempat muncul kabar kemarahan kelompok petani. Mereka mencabut daun-daun tembakau di ladangnya sebelum waktu panen. Sementara daun yang telah dirajang dan dijemur oleh mereka disirami bensin, kemudian dibakar. Hal tersebut dilakukan sebagai manifestasi rasa frustasi mereka. Mereka marah. Ngeri.
Bagaimana respon negara? Ya, kita telah mendengar kabar terbaru. Kabar buruk datang dari istana. Tarif cukai rokok untuk tahun 2021 akan kembali naik dengan angka kenaikan rata-rata mencapai 12,5 persen.
Sampai di titik ini, petani kesulitan bernafas. Tak akan mudah bagi mereka untuk bertahan menghadapi tiga pukulan telak secara beruntun dalam kurun waktu satu tahun. Kini regulasi sudah ditetapkan, dan akan mulai diberlakukan tahun depan. Kita hanya bisa menanti dan menyaksikan, kebaikan apa yang akan lahir dari kebijakan yang terbuat dari air mata.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022