Pandemi yang tak kunjung teratasi sampai kini sebagian besar menyiratkan bias kepentingan. Tak hanya soal vaksin yang belakangan riuh di medsos, di antara itu masih terjadi kedangkalan pemerintah dalam memaknai Bansos. Penekanan untuk tidak memanfaatkan dana Bansos untuk beli rokok selalu dibunyikan.
Dari presiden sampai Bu Risma sebagai Mensos membunyikan penekanan yang sama, disusul kemudian Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, menekankan hal terkait pemanfaatan duit BLT. Seakan-akan kebutuhan masyarakat melulu dilihat hanya untuk merokok.
Sementara, jika kita tilik lebih dalam, ini masyarakat yang terdampak pembatasan sosial, dari waktu ke waktu harus tetap menjawab tuntutan hidup. Tak sedikit dari mereka yang kehilangan sumber penghasilan karena sepi usahanya dan faktor lainnya, pada kondisi riskan ini harus terus berusaha survive.
Bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Biaya listrik dan biaya sekolah anak juga harus terpenuhi. Sebagaimana kita ketahui, meski aktivitas belajar mengajar serba daring, tetap ada insentif biaya sekolah yang harus ditunaikan.
Belum lagi untuk menunjang aktivitas daring yang memerlukan kuota internet. Ini saja sudah menjadi beban tersendiri bagi masyarakat. Artinya, jika kita lihat dari duit BLT yang diterima masyarakat, tak berimbang dengan besaran biaya yang dibutuhkan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Iya kalau diukur secara kasar, paling cukup buat bayar beban listrik sebulan. Tentu saja masyarakat penerima tidak melihat Bansos sebagai satu-satunya keajaiban yang diharapkan. Lebih terpenting dari itu iya mengharapkan pulihnya kondisi pandemi secepatnya.
Kembali bekerja seperti sediakala, aktivitas ekonomi masyarakat berlangsung normal, tak perlu ada lagi sektor usaha yang terpukul akibat pembatasan. Iya dong, ini semua bergantung pada penyikapan pemerintah dalam upaya penuntasan pandemi.
Lantas, di tengah kondisi yang serba riskan ini, pemerintah malah mengulang tuduhan, bahwa rokok menjadi kebutuhan yang dikuatirkan merusak masyarakat. Jika kita tinjau dari berbagai sumber tentang jatuhnya angka penjualan rokok, sudah bisa ditengarai daya beli pasar kini mengalami penurunan.
Satu hal yang perlu dikritisi, apa sih yang melatari pemerintah dan jajarannya merepetisi larangan dana Bansos untuk beli rokok ini. Seakan-akan masyarakat tidak paham gitu, mana prioritas yang harus dipenuhi, kenapa seolah-olah masyarakat menanggung tuduhan bahwa membeli rokok pakai duit BLT adalah perbuatan keji.
Bukankah sejatinya perbuatan keji itu, ketika dana Bansos dicatut secara masal oleh segolongan elit, sehingga yang seharusnya masyarakat mendapatkan kelayakan hak, ini malah menanggung ketidakberesan itu.
Kalau dalihnya demi kesehatan masyarakat karena rokok dicap sebagai biang kerok penyakit. Duh, Bos, secara statistik orang yang meninggal karena covid ini bukan lantaran rokok loh. Ini semua bertolak dari ketidakbecusan pemerintah menyikapi pandemi dengan sigap dan jitu.
Berhentilah menuduh masyarakat penerima BLT ini bodoh dalam menyikapi anggaran hidupnya. Buang itu mindset, bahwa masyarakat penerima BLT ini layaknya anak kecil yang perlu diarahkan terkait pemanfaatan duit yang sudah menjadi haknya. Usang sudah memaknai relasi kuasa semacam itu, wahai.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024