Press ESC to close

Tantangan Petani Tembakau Tak Cukup Ditambal DBHCHT

Kenaikan cukai untuk tahun ini diprediksi menjadi tantangan berat bagi petani tembakau. Pasalnya, pada kondisi tahun lalu saja pabrikan mengalami penurunan produksi dan penjualan lebih dari 10%. Pembatasan kuota permintaan tahun ini kembali menjadi cara yang ditempuh pabrikan itu tetap berproduksi.

Dengan ditetapkannya kenaikan cukai sampai 12,5% bagi golongan SKM dan SPM di tahun 2021, tentu saja membawa guncangan bagi kelangsungan ekonomi tembakau. Tidak hanya tembakau, permintaan terhadap cengkeh pun niscaya mengalami penurunan.

Melihat kondisi ini, asosiasi yang mewadahi kepentingan petani tembakau mengarahkan fokusnya pada DBHCHT untuk kesejahteraan petani. Sebagai info, rencananya Menkeu Sri Mulyani Indrawati akan mengalokasikan 50% dari dana cukai untuk kesejahteraan petani tembakau dan buruh rokok.

Dalam kesempatan yang lalu, asosiasi petani tembakau melalui Ketua Dewan organisasinya menyatakan ajakan untuk menjalin komunikasi dengan pemerintah dan legislatif. Bertujuan mendorong pemanfaatan DBHCHT seturut program organisasi yang berorientasi ke petani.

Menurut pembagiannya, 35% dari alokasi itu peruntukkannya untuk pembinaan lingkungan sosial. Nantinya akan diwujudkan berupa BLT untuk petani dan buruh. Sementara, 5%-nya akan digunakan untuk agenda pelatihan profesi, pengembangan kemampuan di sektor usaha lain.

Baca Juga:  Fenomena Tingwe Memunculkan Peluang Usaha Bagi Kalangan Muda

Meski Kemenkeu mengalokasikan 50% dari DBHCHT untuk sektor hulu industri, ini belum tentu sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Meski wacananya untuk kesejahteraan petani, namun pada praktiknya kerap rentan menjadi bancakan para elit daerah.

Itulah mungkin yang melatariĀ  asosiasi petani menargetkan berkomunikasi dengan pemerintah. Rentannya DBHCHT dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu sangat banyak celahnya. Di tataran wacana memang terkesan ideal, tetapi sangat mungkin dibelokkan untuk menguatkan misi pencitraan segolongan elit.

Seperti yang pernah kita ketahui, pada tahun lalu saja petani mengalami kesulitan mengakses pupuk bersubsidi. Belum lagi harus menambal beban kebutuhan di tengah situasi pandemi. Padahal, sejak lalu juga sudah ada alokasi DBHCHT yang dibagi-bagi untuk daerah penghasil. Kok ya kelangkaan pupuk masih terjadi?

Pada praktiknya, distribusi kesejahteraan di negeri ini memang kerap tidak merata. Kita ambil contoh faktornya pada kasus Bansos Covid, bukan hanya terjadi korup di situ, ada oligarki yang bermain mengambil proyek sana sini.

Walhasil, banyak masayarakat yang dikecewakan, sudahlah tertimpa pandemi, masih pula diperolok oleh perilaku korup yang melukai martabat kemanusiaan. Ini yang kita sesalkan, pada kondisi yang serba rentan ini, para pihak justru tak mampu mengoptimalisasi sikap-sikap yang semestinya.

Baca Juga:  Jangan Bisanya Cuma Bikin Denda, Sediakan Ruang Merokok dan Lakukan Edukasi Pada Perokok

Kenaikan cukai 2021 jelas menjadi tantangan berat bagi seluruh stakeholder pertembakauan. Naiknya harga rokok tentu akan mempengaruhi preverensi pasar. Seperti tahun sebelumnya, banyak perokok yang beralih ke tingwe ataupula rokok murah.

Kenyataan itulah yang pastinya membuat pabrikan mengambil strategi untuk efesiensi. Tahun penuh tantangan ini menuntut rakyat semakin mawas, untuk lebih kuat lagi. Bukan hanya perkara menghadapi pandemi yang tak kunjung tuntas, namun pula bebanan akibat regulasi yang tak berpihak.

Intinya, tantangan ini tak akan diperparah jika saja regulasi cukai berpihak pada kepentingan stakeholder, bukan melulu pada target statistik dan anggaran. Bukan melulu soal DBHCHT, Bansos, atau apalah sebutan dari penambal lara itu.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah