Press ESC to close

Antirokok Yang Tak Pernah Puas

Kelompok antirokok adalah kelompok yang benci pada rokok. Titik. Itulah definisi yang paling mampu menggambarkan mereka. Tak perlu pusing, tak perlu ilmiah. Semudah itu.

Kenapa demikian? Ya karena memang setiap aktivitas dan kampanye mereka hanya menunjukkan kebencian pada rokok–terkadang juga pada perokok. Kita harus bedakan benci rokok dan tidak merokok.

Apakah antirokok adalah orang-orang yang tidak merokok? Jelas. Apakah orang-orang yang tidak merokok adalah antirokok? Belum tentu.

Kita bisa menemukan banyak orang yang bukan perokok, bahkan tidak pernah mengonsumsi rokok sama sekali, tapi punya sikap arif pada perokok. Orang-orang ini bisa berkawan erat dengan perokok meski harus menjadi satu-satunya orang yang tidak merokok di dalam komunitasnya.

Hampir di setiap pergaulan ada saja satu atau dua orang dengan tipe seperti ini; tidak merokok tapi menghargai perokok. Kita sebut mereka non perokok. Ya, menggunakan kata “non” karena mereka tidak membenci dan tidak anti.

Nah, untuk kelompok yang “anti” memang berbeda. Sebagaimana kelompok anti-antian yang lainnya, landasan utama sikap mereka ya ketidaksukaan–untuk tidak menyebut kebencian. Ketidaksukaan, pada titik tertentu, bisa bertransformasi jadi tindak diskriminatif. Ini yang bahaya.

Tindak diskriminatif ini termanifestasikan dari cara pandang mereka pada perokok. Inilah alasan stigma perokok yang identik dengan kriminal menjadi lestari di masyarakat kita. Tidak sedikit orang yang anti pada rokok mendadak jadi hakim moral. Maksudnya, menakar dan menilai moralitas seseorang hanya dari pilihan merokok atau tidak.

Baca Juga:  Pemerintah Memang Harusnya Melarang Penjualan Rokok

Setiap stigma negatif yang tersemat pada perokok, seolah menjadi energi bagi antirokok. Mereka senang kalau perokok dijadikan pesakitan. Semakin semangat mereka bekerja. Apa kerja mereka? Ya itu tadi; bikin kampanye-kampanye buruk soal rokok. Entah sampai kapan, mungkin sampai rokok benar-benar musnah dari muka bumi.

Mereka juga yang gencar mengampanyekan kenaikan tarif cukai rokok tiap tahun. Dan itu berhasil untuk tahun 2021, cukai rokok naik–dan dipastikan akan terus naik secara gradual hingga tahun 2024. Apakah dengan demikian mereka sudah puas? Oh, tentu tidak.

Bahkan di awal pemberlakuan tarif cukai baru, mereka sudah berteriak lagi. Kali ini soal harga jual rokok di pasaran. Mereka mendorong agar harga jual eceran rokok juga dikerek naik. Lagi, lagi, dan lagi. Kenapa? Karena (lagi-lagi menurut mereka) kenaikan tarif cukai tidak mempengaruhi harga rokok di pasaran.

“Nah kalau untuk melihat dampaknya ke konsumsi rokok kita perlu lihat juga bagaimana dia mempengaruhi harga rokok di pasaran. Kenyataannya walaupun secara teori tarif cukai naik harga rokok juga naik, tapi secara praktis itu tidak terjadi. Kalau pun ada rokok yang naik, pembeli masih bisa memilih rokok yang lebih murah,” kata Lara Rizka, Project Officer for Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), sebuah lembaga antirokok.

Baca Juga:  Simplifikasi Tak Hanya Melemahkan Industri Rokok

Aneh. Sejauh yang saya tahu, bahkan sebelum kebijakan cukai yang baru resmi berlaku, harga-harga rokok sudah lebih dulu naik. Beberapa oknum pedagang bahkan sudah curi start menjual harga rokok dengan tarif baru yang lebih mahal. Di beberapa kasus bahkan ada yang menjual rokok berpita cukai 2020, tapi dengan harga cukai 2021. Ini fakta.

Lalu kenapa antirokok bisa berpendapat demikian? Ya, lagi-lagi: benci. Kalau sudah benci, mau dikemas dengan bahasa apapun akan terasa. Namanya juga anti.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara