Search
cukai rokok

Pengendalian Tembakau dan Ragam Skemanya

Agenda pengendalian tembakau merupakan agenda global dengan dalih melindungi kesehatan publik. Banyak negara-negara dunia mematuhi semua agenda yang sarat dengan kepentingan politik dagang ini. Melalui traktat FCTC, negara-negara penghasil tembakau ditekan untuk mematuhi klausul di dalamnya.

Banyak negara lain yang notabene merupakan pasar bagi bisnis rokok, dibatasi dan dikontrol secara regulasi. Ada sekitar 183 negara di dunia meratifikasi traktat yang dibidani oleh WHO (badan kesehatan dunia) itu.

Indonesia termasuk negara yang belum meratifikasi traktat tersebut, namun tentu itu bukan tanpa alasan. Secara regulasi, di dalam negeri sendiri, PP 109/2012 muatannya sudah mengadopsi traktat tersebut. Banyak hal menyangkut tata kelola dan tata niaga pertembakauan diatur searah FCTC.

Sejak lalu, sekira dari tahun 2000-an, agenda pengendalian tembakau ini oleh antirokok di Indonesia terus didesakkan. Berbagai cara ditempuh untuk menghapus keberadaan entri rokok serta kaum perokok di negeri kretek ini. Di antaranya:

Mendorong regulasi KTR untuk mendiskriminasi perokok. Perda-perda yang mengatur Kawasan Tanpa rokok ini sebagian besar dikerjakan secara salin tempel. Tidak betul-betul serius untuk mengakomodir rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat.

Tiada upaya untuk menghadirkan area merokok di KTR sebagai bagian dari amanat konstitusi, sampai pada tindakan merazia perokok serta memberi sanksi bagi yang melanggar. Bahkan lebih jauh, terkait larangan merokok di rumah, merangsek wilayah privat.

Upaya diskriminasi terhadap perokok ini terjadi pula dalam konteks layanan BPJS, pasien yang diketahui terindikasi kanker, kemudian diketahui pula sebagai perokok, tidak diperlakukan dengan semestinya. Justru dianggap salah perokok sendiri. Omg, kacau betul laku bisnis kesehatan di negeri ini.

Kerap pula antirokok dalam kampanyenya, secara serampangan mengaitkan rokok sebagai biang kerok kesehatan serta kemiskinan. Sementara, 50% DBHCHT yang merupakan duit dari perokok dialokasikan untuk JKN.

Baca Juga:  Cukai Rokok Adalah Uang Panas

Namun, dalam praktiknya, perokok didiskriminasi dari haknya untuk mendapatkan layanan kesehatan yang adil. Ketika rokok kerap dikait-kaitkan dengan beragam penyakit mengerikan, dengan demikian perokok pantas disalahkan. Termasuk pula soal paparan asap yang dicap polusi bagi udara dan lingkungan.

Atas semua hal negatif yang dibangun secara masif oleh antirokok, penjualan rokok pun di tingkat ritel mengalami diskriminasi. Tidak boleh mendisplay produknya,, seperti yang terjadi di Bogor dan Kulon Progo.

Selain isu kesehatan dan pembatasan penjualan yang berimplikasi merugikan pedagang, serta mempersulit perokok mengakses produk. Kemudian, sebangun dengan agenda pengendalian itu pula, Industri Hasil Tembakau terus diperas duitnya untuk memenuhi target pemasukan negara yang tiap tahun naik seturut naiknya cukai rokok.

Banyak pabrikan skala kecil menengah kukut akibat regulasi cukai ini. Sepanjang sejarah pungutan cukai, tahun 2020 kemarin kenaikan cukai yang paling tinggi terjadi. Cukai pada tahun 2020 naik sampai 23% secara gradual. Seturut itu isu simplifikasi cukai juga terus didorong antirokok. Bukan main agenda pengendalian dalam upaya memberangus sektor IHT dalam negeri.

Terbukti, banyak pabrikan yang terpukul oleh regulasi cukai ini. Tak hanya itu, kondisi tersebut berimbas langsung ke pada serapan tembakau dari petani, lantaran pabrikan melakukan pembatasan kuota produksi.

Pada tahun ini, per Februari tarif cukai baru resmi berlaku. Semakin tinggi saja harga rokok. Sejak regulasi cukai yang demikian beruntun dinaikkan tarifnya. Banyak perokok yang kemudian beralih ke tingwe atau turun kasta. Penjualan rokok anjlok mencapai 30%-an.

Baca Juga:  Larangan Menjual Rokok Eceran Mematikan Hajat Hidup Pedagang Kecil

Tak cukup sampai di situ, antirokok mewacanakan pula untuk menaikkan HJE (Harga Jual Eceran). Wacana ini semakin memperjelas kekejian antirokok dalam upaya memberangus sektor ekonomi kretek. Semakin membuktikan bahwa antirokok dengan agendanya untuk mengalihkan konsumsi perokok semakin terang saja.

Kini di pasaran, bisnis produk tembakau alternatif banyak beredar dan cukup masif beriklan. Harga jualnya secara psikologis cukup mampu merebut perhatian perokok. Dengan adanya wacana menaikkan HJE yang didorong oleh akademisi antirokok itu, maka akan semakin menyulitkan masyarakat dalam mengakses rokok.

Seperti yang kita ketahui, kenaikan cukai yang berlaku pada golongan SPM, tetapi tidak berlaku bagi SKT. Ini sebetulnya permainan utak atik pemerintah saja. Kebijakan fiskal terkait sektor pertembakauan ini hanyalah akal-akalan pemerintah untuk terus memeras keuntungan dari industri rokok.

Jika memang benar agenda pengendalian tembakau ini didasari persoalan kesehatan; jika memang rokok ini lebih berbahaya disbanding perilaku korup elit pemerintahan; sebetulnya, ada satu cara paling ampuh dan realistis dilakukan pemerintah. Ilegalkan rokok, tutup semua pabriknya.

Tapi kenapa cara ampuh itu tidak dilakukan, lantas memilih main akal-akalan dengan antirokok untuk menaikkan tarif HJE? Dari sisi ini saja bisa kita tengarai, mereka terus membenci rokok tapi masih mau duitnya juga. Dasar parasit!