Press ESC to close

Rokok Ilegal dan Lucunya Pemerintah Kita

Ada benarnya satire populer yang menyebut kalau republik ini tak lebih dari republik dagelan. Soalnya para pejabat negeri ini kerap kali menimbulkan kerancuan yang mengelikan. Untuk kali ini menyangkut rokok ilegal, premis Menkeu, Sri Mulyani, justru bikin kita berdehem paham.

Bukan apa-apa, terdapat tiga premis kontradiktif dari kenaikan cukai yang kita temukan. Coba tilik, premis pertama, Menkeu ingin memberantas rokok ilegal. Premis kedua, Menkeu menyadari bahwa kenaikan tarif cukai akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Premis ketiga, Menkeu (pula) menaikkan tarif cukai.

Absurd ya kan logika pemerintah dalam memaknai urusan sebats ini. Dalihnya menaikkan tarif cukai melulu isu kesehatan, selain itu, kerap pula dikaitkan dengan isu-isu kemiskinan. Faktanya, perkara kesehatan dan kemiskinan justru bersumber dari kegagalan pemerintah mencipta kesejahteraan.

Lucunya tuh di sini, rokok kerap dicap membahayakan tetapi keuntungannya terus diperhitungkan. Kok bisa? Iya dari premis di atas saja kita bisa tengarai, seperti yang kita tahu, maraknya peredaran rokok ilegal itu bikin rugi negara memang.

Artinya, pemerintah tetap berpikir keuntungan dari bisnis rokok dalam konteks ini. Walau dalil kesehatan seringkali diumbar, publik akhirnya bisa mengambil kesimpulan sendiri. Seserius apa sih kalau memang mau mengangkat derajat kesehatan masyarakat? Faktanya, urusan pandemi ini tak kunjung kelar juga.

Baca Juga:  Saat Banyak Pihak Berupaya Meniadakan Cengkeh dari Kretek

Statistik dan penanganan wabah Covid-19 di Indonesia banyak menimbulkan keresahan, efeknya iya terhadap ekonomi masyarakat. Banyak sektor terpukul. Termasuk pabrik rokok. Pada situasi semacam ini, industri rokok justru terus diperah. Dinaikkan cukainya, diolok-olok ruang bisnisnya oleh regulasi yang mengadopsi skema antitembakau global.

Satu hal lagi, berdasar catatan media, pada tahun 2020 itu peredaran rokok non cukai meningkat. Kabarnya sampai 4%. Kini tahun 2021 cukai naik lagi, kemungkinan peredaran juga akan meningkat. Lantas, Sri Mulyani meminta untuk angka peredaran itu ditekan sampai angka 3%.

Secara komunikasi politik, Sri Mulyani ini bukan hanya bicara kepada jajarannya saja, tetapi juga mengisyaratkan pesan politis kepada kartel yang bermain di bisnis non cukai itu. Iya ini sih anabel (analisis gembel) saya saja.

Namun, tidaklah keliru jika Sri Mulyani meminta jajarannya mengeksekusi itu dengan serius. Wong, alokasi DBHCHT untuk memberantas rokok non cukai ditambah angkanya. Dengan demikian, Menkeu ingin angka yang sudah dikeluarkan itu dapat dirasionalisasi ke dalam bentuk tindakan dan output-nya angka. Persentasi peredaran rokok non cukai menurun.

Baca Juga:  Rokok Membahagiakan, Budaya Konsumerisme yang Memiskinkan

Terus terang saya pun nyengir sendiri, sekelas Sri Mulyani mengumbar premis kontradiktif begitu. Mengisyaratkan bahwa pemerintah memang cacat logika dalam konteks memaknai instrumen cukai. Iya, kita juga tahu, negara lagi pailit. Hutang meningkat, pandemi tak kunjung teratasi.

Padahal, mestinya Bu Menkeu tak perlu terjebak pada premis absurd itu jika saja kenaikan cukai tidak digenjot setiap tahun secara gila-gilaan. Kalau logikanya logika kejar setoran, ya gitu deh jadinya. Blunder, Luur!

Sejatinya, kita sepakat, peredaran rokok non cukai itu merugikan negara. Tetapi, kok ya segitu lucunya sih pemerintah dalam berlogika. Jangan diketawain ya, lur.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah