Press ESC to close

Perda KTR Bukanlah Larangan Merokok

Menyoal Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah kerap saja penekanannya pada larangan merokok dan isu kesehatan yang kelewat lebay. Secara prinsip kita sepakat dengan pernyataan Wabup Kulonprogo, bahwa KTR bukan untuk melarang orang merokok.

Lucunya, upaya penegakkan efektifitas KTR acap disertai upaya ‘memberantas’ ruang perokok. Seakan-akan aktivitas merokok disetarakan dengan aktivitas keji tak bermoral, mencederai harkat kemanusiaan, perbuatan nista yang dianggap aib bagi kota yang dipimpinnya.

Pelanggar KTR harus disidang dikenai sanksi/denda yang bertujuan membuat kapok perokok. Ini satu watak warisan kolonial terhadap ‘pesakitan’ di negara jajahan. Di masa sekarang, tentu tidak relevan lagi model kekuasaan yang begitu.

Di negara berasas demokrasi Pancasila ini, pemerintah harusnya mampu mendudukkan harkat kemanusiaan di atas segala kepentingan. Sialnya, selama ini yang kita terima dari perlakuan pemerintah terkait rokok maupun perokok kerap tak sebangun dengan asas yang berlaku.

Di antaranya munculnya Perda KTR yang melulu dimaknai sebagai regulasi yang mengandung larangan merokok. Tak memungkiri, rokok memiliki faktor risiko yang berpotensi mengganggu orang lain. Di titik ini kita sepakat, bahwa aktivitas merokok perlu diatur. Namun, bukan lantas aktivitas merokok layaknya aktivitas ilegal. Bahkan, sampai harus dipersidangkan tatkala terjadi pelanggaran KTR.

Baca Juga:  Betapa Minimnya Fasilitas Merokok di Indonesia

Justru yang terpenting dari amanat KTR ini adalah upaya berbagi ruang. Itu prinsipnya. Semua lapisan masyarakat berhak mendapatkan rasa keadilan. Maka itu, penyediaan ruang merokok menjadi penting sebagai asas untuk menjawab kontroversi terkait asap rokok.

Namun, jika semangat berbagi ruang ini ditindas oleh wacana tentang kesehatan yang berimplikasi mempertebal stigma terhadap rokok, bagi saya, bukan derajat kesehatan masyarakat yang mau diangkat di situ. Lebih kepada pencapaian citra semata. Citra daerah serta citra pejabat yang mengusungnya.

Sederhananya, jangan sampai upaya penegakkan KTR malah berujung menghabisi ruang perokok. Jika ujungnya begitu, iya itu jelas bukan mengusung semangat berkeadilan bagi semua. Bila ruang merokoknya disediakan dan relatif manusiawi, kemudian sistem pengawasan dan edukasinya berjalan, niscaya deh, masyarakat akan taat asas dan paham tujuan baik dari KTR.

Berkali-kali yang disesalkan perokok, upaya penegakkan KTR tidak pernah dibarengi dengan semangat edukasi. Cara-cara yang diberlakukan melulu larangan merokok dan pendekatan represi berupa ancaman sanksi administrasi dan pidana. Pada beberapa kasus, sampai terkesan mendiskriminasi perokok dari ruang bersama. Ini jelas keliru.

Baca Juga:  Menyoal Iklan Rokok di Internet

Kita sepakat pada pejabat daerah yang mengingatkan bahwa KTR bukan untuk melarang orang merokok. Melainkan, upaya mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Untuk itu, merokoklah pada tempat yang sudah disediakan.

Nah, dengan demikian, pejabat yang mampu berlaku adil seperti itulah yang layak dikenang sebagai pribadi humanis serta merakyat. Doa terbaik akan selalu mengalir untuknya. Jangan sampai yang terjadi malah semangat memberantas rokok dan ekosistem kretek. Itu sama halnya mengingkari sejarah budaya bangsa sendiri.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah