Press ESC to close

Salahkah Perempuan Berjilbab Merokok?

Isu tentang perempuan hingga era digitalisasi 4.0 masih menjadi isu yang hangat untuk dibicarakan, bahkan oleh yang bukan perempuan. Apapun yang melekat pada diri perempuan–mulai dari apa yang dikenakan hingga apa yang dia lakukan–seolah begitu menggangu seperti alarm di pagi hari. Sehingga beragam komentar tentangnya berkicau dimana-mana. Salah satunya adalah aktivitas merokok. Terlebih perempuan berjilbab merokok.

Dahulu, perempuan merokok dapat dengan mudah kita temukan di ladang pedesaan sesaat setelah istirahat dan makan siang. Kini perempuan merokok bisa kita temukan hampir di semua warung kopi atau kafe di kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan kota besar lainnya. Bahkan tak jarang perempuan yang berjilbab pun kedapatan tengah bersantai ria ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok di jarinya.

Namun kegiatan merokok kini menjadi masalah besar dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena adanya stigma negatif tentang rokok bagi kalangan perempuan terlebih yang menggunakan jilbab.

Perempuan merokok dewasa ini tidak dilihat dari sisi budaya ataupun hak atas individu melainkan hasil pemahaman beragama yang tekstual dalam memaknai jilbab dan perempuan sehingga membentuk norma di masyarakat. Dalam konteks ini perempuan di hadapkan pada dua realitas, yaitu pemahaman gender tentang rokok dan pengertian tentang seksualitas perempuan.

Gender adalah pebedaan fungsi sosial, peran, dan status pada laki-laki atau perempuan yang terbentuk dari konstruksi sosial dari generasi ke generasi. Hal ini dipengaruhi juga oleh dominasi jenis kelamin yang menguasai kepemilikan sebuah benda tertentu–seperti rokok yang diidentifikasikan hanya milik laki-laki sehingga perempuan menghadapi konsekuensi sosial berupa pembatasan hak akses terhadap rokok dalam masyarakat.

Sedangkan seksualitas tidak hanya berbicara tentang perbedaan jenis kelamin secara biologis, namun juga kompleksitas dari gender dan relasi kuasa yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan norma yang didukung oleh hukum agama, pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Dalam masyarakat, seksualitas kerap dihukumi dengan perilaku baik dan buruk, moral dan amoral. Seperti kasus perempuan berjilbab yang merokok disebut sebagai tindakan yang buruk. Hukum tersebut telah disepakati secara tidak langsung dalam sosial masyarakat.

Baca Juga:  Prediksi IHT Pasca Kenaikan Cukai 2022

Norma sosial di masyarakat umumnya memiliki sanksi sosial. Bentuk dari sanksi sosial biasanya berupa ancaman, dikucilkan hingga kekerasan fisik. Akibat adanya ikatan sosial ini masyarakat kabur tentang apa yang dianggap normal dengan sudut pandang yang objektif. Inilah yang disebut agama sebagai kohesi sosial di masyarakat. (Kuntowijoyo, 1998:97)

Melihat bahwa islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin maka jelas bahwa segala bentuk ketimpangan adalah tidak sesuai dengan ajaran islam dan merupakan konstruksi sosial yang antara gender dan seksualitas saling berelasi dan memberikan efek yang luar biasa menyakitkan terhadap peran dan psikologis perempuan, menggerus nalar, suara dan hak perempuan sebagai manusia. Fungsi agama disini seolah hanya untuk saling menghakimi dan mengenyahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada akhirnya sanksi sosial tersebut menimbulkan ketidakberdayaan perempuan dalam mengatasi permasalahan sosial sehingga ia harus mengikuti norma diskriminatif yang telah menjamur baik di domain domestik maupun publik.

Ironisnya, sikap tunduk, patuh dan mengalah yang dicitrakan kepada perempuan, dalam budaya masyarakat diatur bahkan dibahasakan dalam agama menggunakan tafsir keagamaan yang tekstual, penyebaran tafsir misoginis yang diskriminatif terhadap perempuan. Bahkan terkadang digunakan oleh ustad-ustad yang tidak memiliki kecakapan dalam pendidikan dakwah.

Adanya pemahaman agama secara tekstual di era digitalisasi 4.0 adalah karena masyarakat dihadapkan oleh kemudahan akses dalam belajar agama. Misalnya seorang yang tidak tahu tentang agama islam dengan mudah menemukan definisi agama lengkap dengan syariatnya hanya dengan searching di google.

Selain sebuah kemudahan, hal ini juga merupakan tantangan bagi umat beragama karena internet dengan segudang informasi yang masuk tiap detiknya tidak memiliki verifikasi informasi yang akurat, akibatnya yang terjadi di masyarakat hanyalah simplifikasi hukum atau syariat.

Jilbab sebagai simbol agama memiliki ikatan yang kuat dengan cerita perempuan di masa lalu, bahkan budaya jilbab telah ada jauh sebelum islam lahir (Murthada Muthahari, 1994: 34). Sedangkan untuk muslimah sendiri, pada awalnya, selain wujud kesholehan adalah sebagai resistensi, melihat pada bangsa arab perempuan dibunuh hidup-hidup dan dijadikan pelacur, atau sumber utama logistik (dapur, kasur, sumur).

Baca Juga:  Bagaimana Negara Tanpa Pemasukan Cukai Rokok?

Artinya jilbab adalah simbol perlawanan muslimah, jilbab bukanlah sebuah aturan yang mengikat dan menghilangkan kemerdekaan seorang perempuan serta bukan sebuah simbol kuno. Pada hakikatnya simbol agama hanyalah sebuah interpretasi keimanan seseorang, namun bukan sebuah penentu baik dan buruknya manusia.

Untuk mengatasi kegalauan pikir tentang perempuan berjilbab merokok, kita sebaiknya menimang sesuatu tidak hanya dengan satu sudut pandang teologis saja. Perlu juga menggunakan sudut pandang lain seperti psikologis, ekonomi dan sosial yang objektif. Dalam kasus ini penting bagi kita untuk menghargai sesama manusia, tidak ada agama yang mengajarkan hal buruk kepada umatnya seperti menghakimi sesama, misalnya.

Agama selain menjadi tanggungjawab agamawan juga merupakan tanggungjawab Pemerintah yang menjadi pihak sentral dan bertanggung jawab dalam memberikan hak atas edukasi secara objektif tentang rokok, dan memisahkannya dengan kepentingan birokrasi dan bisnis.

Selain itu, hal yang perlu disadari sebagai perkokok adalah pentingnya bertanggung jawab atas kenyamanan orang di sekitar kita. Salah satunya dengan menjadi perokok yang santun, yaitu tidak merokok di depan anak kecil, orang tua dan ibu hamil, serta merokoklah di ruang khusus merokok. Karena dengan saling menjaga pasti akan tercipta hubungan yang harmonis antar manusia.

Alma'a Cinthya Hadi

Pejalan kaki