Press ESC to close

Kebijakan Cukai dan Manuver Kepentingan Global

Indonesia sebagai penghasil tembakau di urutan keenam setelah Cina yang memiliki kebijakan cukai begitu kompleks. Kompleksitas pada kebijakan ini didasari oleh dua faktor. Yakni faktor internal, karena struktur pasar dan industrinya. Kedua, didasari faktor eksternal, adanya tekanan dari agenda global terkait pengendalian tembakau.

Kedua hal itulah yang membuat pemerintah menanggung dilema yang cukup problematik. Di satu sisi mendapat tekanan global melalui isu kesehatan. Di sisi lain, pemerintah juga butuh uang dari devisa cukai.

Dalam mengeluarkan kebijakan tentang cukai, pemerintah bukan tidak tahu konsekuensi yang bakal mereka tanggung. Terhitung dari tahun 2017, dimana kondisi cuaca yang buruk membuat panen tembakau dan cengkeh jelek. Harga jual anjlok.

Kenaikan cukai pada tahun itu rata-rata di angka 10,5%, berimbas pada serapan bahan baku yang dibutuhkan pabrikan. Jelas kenaikan cukai itu makin memperburuk keadaan. Pada tahun 2018, kebijakan cukai terkait penggunaan 50% untuk JKN dari DBHCHT, menimbulkan ketimpangan bagi peruntukkan yang mestinya dikelola untuk peningkatan kualitas produksi tembakau.

Pada tahun 2018 itu, kenaikan tarif cukai ada di kisaran 11%. Kondisi semakin sulit lagi disusul kemudian dengan munculnya kenaikan tarif 2019 hingga 2021, disertai aturan baru terkait penggunaan alokasi cukai untuk penaggulangan covid-19.

Pada kondisi pandemi yang serba riskan ini, banyak hal terkait kebijakan pemerintah yang justru merepotkan masyarakat. Pandemi covid-19 membuat ekonomi Indonesia mengalami resesi yang dampaknya diperkirakan masih akan berlangsung dalam waktu lama.

Baca Juga:  Watak Nazi dalam Gerakan Antitembakau

Belum lama ini bahkan, pemerintah Indonesia menambah utang baru dari Bank Dunia sebesar 900 juta dollar AS. Kabarnya, utang baru ini dipakai untuk memperkuat sistem kesehatan nasional serta dipakai untuk memperluas program vaksinasi covid-19.

Mengacu catatan Kementerian Keuangan posisi utang Indonesia mencapai Rp 6.361 triliun per akhir Februari 2021, naik 2,05 persen atau Rp128 triliun dari periode Januari 2021. Bayangkan jika ditambah dengan besaran utang yang baru pada bulan Juni ini ditarik pemerintah dari Bank Dunia.

Sebagaimana kita tahu, persoalan pinjaman luar negeri ini membawa konsekuensi yang membuat pemerintah terus didikte oleh kepentingan global. Sampai-sampai Bank Dunia mengharapkan pemerintah Indonesia melakukan ekstensifikasi Barang Kena Cukai, di antaranya CHT dari industri rokok.

Artinya, pada tahun depan kebijakan cukai akan lebih mengancam kelangsungan Industri Hasil Tembakau. Pada kurun tiga tahun terakhir saja, industri sudah sangat kelimpungan, siasat efesiensi pun terjadi. Sehingga stakeholder pertembakauan harus mengalami kondisi yang sangat tidak menguntungkan.

Naiknya cukai secara gradual telah membuat harga rokok terus naik dari waktu ke waktu. Sebagaimana kita tahu, skema cukai oleh pemerintah dijadikan sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok. Dalih kesehatan terus direpetisi untuk memberi pembenaran terhadap naiknya tarif cukai secara gila-gilaan.

Baca Juga:  Rokok Klembak Menyan dan ‘Ritual’ Inisiasi di Urutsewu

Satu hal yang menjadi pertanyaan, dalam urusan cukai saja pemerintah kita masih didikte oleh Bank Dunia. Ini semakin menunjukkan, bahwa urusan ekonomi dan sumberdaya, seakan-akan kita tak mampu dalam menentukan nasib.

Lalu apa artinya ini semua, jika pada akhirnya untuk dapat mencicil utang, pemerintah harus terus menekan IHT lewat kenaikan cukai tiap tahun. Sementara, dari sisi regulasi tidak ada yang memberi jaminan perlindungan yang komprehensif terhadap kelangsungan industri rokok.

Jika kita terus dibuat ketergantungan terhadap pinjaman, dalam konteks pinjaman luar negeri ini tentu terdapat skema yang harus dipatuhi negara peminjam. Dari sisi ini, dapatlah ditengarai kita akan jadi bangsa yang didikte terus, potensi kebangkrutan ekonomi merupakan efek beruntun dari kondisi IHT yang terus diatur-atur mengikuti kepentingan global.

Apalagi jika kemudian banyak sektor UMKM yang terpuruk tak terselamatkan, termasuk industri rokok dalam negeri yang selama ini menjadi sumber devisa andalan. Di balik ini semua, agenda rezim antitembakau semakin menemukan konteksnya dalam upaya menguasai sumberdaya ekonomi pertembakauan kita.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah