Petani tembakau tentulah pihak yang sangat diresahkan dengan adanya wacana PP 109 sejak lalu. Pasalnya, kondisi petani yang hidup dari tembakau di masa pandemi ini tidak sedang baik-baik saja. Sejak regulasi kenaikan cukai berlaku gradual. Panen tembakau petani banyak yang tak terserap pabrikan.
Petani harus menghadapi kondisi yang serba tak menentu. Regulasi cukai yang menjadi instrumen pengendali, terus memaksa sejumlah pabrikan mengurangi kuota produksinya. Walhasih, tidak semua panen petani dibeli pabrikan.
Hasil yang didapat dari penjualan tembakau tidak sepadan dengan biaya produksi. Sehingga banyak petani yang menjual secara eceran demi baliknya biaya produksi lagi. Selain itu, persoalan tata niaga di hulu industri ini masih direcoki para spekulan tembakau. Harga jual tembakau jadi rusak oleh para pelaku rente itu.
Ini baru secuil gambaran dari kondisi saat ini. Sebagaimana kita tahu, industri rokok adalah satu-satunya sektor yang menjadi pengharapan petani untuk terus bisa menyambung hajat hidup. Di sisi ini, kondisi industri juga menghadapi dilema akibat tekanan regulasi.
Berdasar sebaran media, gerakan antitembakau di Indonesia ini pada revisinya nanti menyisipkan beberapa kepentingannya di dalam PP 109. Di antaranya soal wacana bakal digunakannya dana cukai rokok untuk menjamin ketersediaan obat-obatan yang digunakan dalam program berhenti merokok.
Selama ini saja, persoalan distribusi DBHCHT yang seharusnya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani, justru banyak digunakan untuk program-program yang tidak menyentuh persoalan riil. Sebesar 50% saja dialokasikan sudah untuk JKN, kemudian pula upaya-upaya untuk menanggulangi covid 19.
Wacana penggunaan dana cukai untuk layanan berhenti merokok ini adalah hal baru, mengikuti pola penggunaan dana bagi hasil cukai rokok dan dana pajak rokok daerah untuk membiayai jaminan kesehatan di daerah. Duit rokok dipakai sektor kesehatan.
Jika itu terjadi, iya makin jauh saja dari asasnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau. Terlalu jauh memang intervensi gerakan antitembakau di negeri ini, isu kesehatan dijadikan tameng untuk mengemplang sektor IHT yang selama ini menjadi andalan penghidupan petani.
Bupati Temanggung sendiri, sebagai salah satu kepala daerah penghasil Tembakau, menyatakan penolakannya dengan menyebut banyaknya kebijakan yang berlaku telah berimbas pada hancurnya harga dan melambatnya penyerapan tembakau petani.
Penolakan senada terhadap agenda revisi PP 109 disampaikan dengan tegas pula oleh Pengurus DPC APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) Temanggung. Bahwa, negara harus hadir untuk menyelamatkan petani tembakau dengan membuat kebijakan yang mendukung kelangsungan hidup petani tembakau.
Pasca diberlakukannya PP 109 pada tahun 2012 saja, sudah 1000 perusahaan rokok yang gulung tikar, terdampak regulasi yang mengadopsi traktat pengendalian tembakau global itu. Anjloknya harga dan serapan tembakau petani, menurunnya daya beli pasar, serta maraknya peredaran rokok ilegal. inilah konsekuensi dari PP 109/2012.
Apalagi kalau PP 109 direvisi, akan semakin terpuruk saja IHT yang selama ini menjadi sumber devisa negara. Perkara Covid 19 saja belum teratasi, ini malah mengurusi revisi PP 109. Apa tidak semakin kedodoran pemerintah?
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024