Search
pabrik rokok

Wacana Revisi PP 109 Meresahkan Pengusaha Rokok

Isu revisi PP 109/2012 yang mengemuka belakangan ini sudah barang tentu memberi keresahan bagi pengusaha rokok. Pasalnya, kondisi industri rokok saat ini jauh dari kata kondusif. Daya beli konsumen merosot jauh dari yang ditargetkan.

Bagaimana tidak, sudahlah perokok dituding sebagai kalangan pesakitan, rokok diposisikan sebagai musuh utama kesehatan. Diskriminasi terhadap perokok dan upaya menekan industri melalui regulasi terus dimainkan. Sementara, dari sisi ekonomi serta serapan tenaga kerja, sektor rokok ini sangat menopang pendapatan negara.

Pihak antirokok kerap menyebut, keberadaan industri rokok telah membawa ancaman besar bagi masyarakat. Bertanggung jawab terhadap semua problem kesehatan yang dialami rakyat Indonesia. Produk konsumsi lain, tidak terlalu menjadi sorotan yang sama.

Iya lagi-lagi, sebagaimana kita tahu, ada persoalan cuan besar yang berputar di bisnis rokok. Jika kita tilik lebih dalam, duit cukai diatur pemerintah untuk kemaslahatan masyarakat, sebesar 50% untuk mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional. Bahkan di masa pandemi ini, duit cukai diarahkan ke penanggulan virus covid19.

Ironinya, di tengah kondisi yang serba riskan akibat pandemi. Banyak sektor bisnis yang terpukul, tak ayal berkaibat pada meningkatnya angka pengangguran. Terhitung sejak April 2020 di Jakarta saja, terdapat 50.891 buruh kehilangan pekerjaan terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Belum lagi di beberapa kota-kota lainnya.

Baca Juga:  Pabrik Rokok di Kudus Tunaikan THR Lebih Awal, Bukti Taat Asas

Kondisi ini jelas menjadi problem pemerintah yang harus segara diatasi. Sementara, persoalan distribusi vaksin sebagai salah satu cara mencipta imunitas masyarakat dilakukan secara gradual dan belum terlaksana dengan baik.

Sudahlah kondisi pandemi menjadi beban bagi industri, ini masih pula dirongrong kepentingan pihak yang  membenci industri rokok tetap eksis.

Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu secara terbuka menyatakan, bahwa Industri Hasil Tembakau di masa pandemi ini juga sedang turun. Ditegaskan lagi, saat ini fokusnya lebih ke pemulihan ekonomi. Sebagaimana kita tahu juga, pembangunan Kawasan Industri Hasil Tembakau adalah salah satu bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Faktanya saat ini, industri rokok sedang mengalami tekanan yang luar biasa. Menurunnya daya beli akibat naiknya harga rokok, sehingga mendorong timbulnya peredaran rokok ilegal yang demikian marak. Kondisi ini tentu akan berdampak jelas terhadap target penerimaan cukai untuk APBN.

Pihak Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan, justru yang dibutuhkan industri hasil tembakau saat ini adalah insentif pemerintah. Apalagi, pandemi COVID-19 sejak tahun lalu hingga saat ini masih memberikan tekanan pada industri.

Sebagian besar masyarakat juga paham, jika industri rokok dalam negeri nantinya benar-benar terpuruk, akan terasa dampaknya pada ekosistem ekonomi yang saling terkait. Di antaranya terhadap serapan tembakau serta anjloknya harga jual tembakau.

Baca Juga:  Menyoal Pemberitaan Media Tentang Rokok yang Berat Sebelah

Padahal ya, PP 109/2012 tanpa harus direvisi pun selama ini sudah cukup menekan. Industri sendiri sudah taat asas dan konsisten terhadap aturan yang berlaku. Baik itu soal promosi, pembatasan jam siar iklan, penerapan gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok. Sejauh ini semua sudah dipatuhi dengan baik.

Beban ganda yang dialami industri ini dapat mebawa dampak buruk yang berkepanjangan, iya terimbas pandemi dan kenikan cukai tiap tahun, muncul pula isu revisi yang semakin absurd saja poin-poin yang dipersiapkan.

Demi keberlangsungan industri, wacana revisi PP 109/2012 ini sebaiknya tidak dilanjutkan. Demikian ujar Ketua Umum GAPPRI. Kekhawatirannya, beleid revisi itu justru akan menekan penerimaan negara dari cukai. Lebih jauh lagi, berdampak pada hilangnya sumber hajat hidup masyarakat dari sektor kretek.