Philip Morris sebagai perusahaan rokok terkemuka telah dikenal dengan sepak terjangnya dalam upaya penguasaan pasar. Induk dari PT HM Sampoerna ini dikenal pula sebagai salah satu pengusung aturan ketat terkait rokok.
Di India misalnya, Philip Morris International berhasil menjadi salah satu perusahaan rokok terbesar. Hal itu terjadi setelah India mengaksesi traktat pengendalian tembakau (FCTC). Lonceng kematian industri rokok lokal di India ditandai pada periode ini.
Di Indonesia sendiri, perusahaaan multi nasional ini telah mengakuisisi Sampoerna yang merupakan salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Dalam kebijakan perusahaannya, melalui Sampoerna, Philip Morris juga turut mendukung aturan yang mengontrol bisnis rokok. Di antaranya yang berkaitan dengan iklan, juga standarisasi Tar dan Nikotin.
Belakangan ini, Philip Morris diketahui pula telah mengakuisisi salah satu perusahaan farmasi Fertin Pharma. Perusahaan ini memang sudah dikenal kerap memproduksi produk alterrnatif berbahan nikotin. Biasa dikenal dengan NRT (Nicotine Replacement Theraphy).
Ketika perusahaan rokok terbesar ini sukses mengakuisisi produsen obat-obatan, bukan lagi rahasia jika tujuannya adalah untuk mengalihkan pasar perokok konvensional. Bagi mereka, rokok konvensional, termasuk kretek di dalamnya adalah pasar menggiurkan, industrinya menjadi pesaing yang perlu dikendalikan.
Tak heran jika instrumen kebijakan menjadi salah satu alat pengendali yang dimainkan. Termasuk isu kesehatan yang kerap mendiskreditkan rokok dan perokok. Sebagaimana kita tahu, isu-isu kesehatan didesakkan untuk memberi tekanan terhadap pasar untuk kemudian konsumen besar ini beralih.
Sementara, selama ini produk NRT yang merupakan produk alternatif berbasis nikotin, kerap dikampanyekan jauh lebih aman oleh para pengusungnya. Dinarasikan sebagai medium pengentas ketergantungan terhadap rokok. Narasi yang sama juga dimainkan untuk melariskan bisnis rokok elektrik.
Konsumen rokok di Indonesia memang terbilang loyal terhadap produk kretek, karena produk ini telah menjadi bagian dari produk budaya masyarakat. Dari sisi ini, bagi pemain besar seperti Philip Morris, konsumen rokok di Indonesia merupakan mangsa pasar yang potensial, sehingga skema untuk memonopoli keberadaan pasar menggiurkan ini pun terus dimainkan.
Tentu kita ingat, produk iQOS yang dikenal sebagai rokok tanpa asap, pula telah diklaim oleh produsen rokok tersohor ini sebagai hasil ciptaan mereka. Perlu diketahui lagi, fakta menarik terkait klaim tersebut justru digugat oleh Japan Tobacco.
Artinya, dari klaim terhadap iQOS, serta isu kesehatan yang kerap mendiskreditkan eksistensi rokok konvensional, semata-mata hanyalah pintu masuk untuk mengubah perhatian konsumen. Tentu kita ingat pada 2018 lalu, induk PT Sampoerna ini juga membeli saham Juul. Tak perlu kaget, jika Juul ini juga potensial untuk diakuisisi sebagai pesaing yang perlu dieliminasi.
Jadi, isu kesehatan tak lain hanyalah dalih untuk memudahkan tujuan memonopoli bisnis berbasis nikotin. Apalagi kita tahu, bahwa telah banyak hasil riset yang menunjukkan manfaat nikotin pada tembakau untuk kepentingan medis.
Bagi publik yang memahami isu dan politik dagang tembakau pasti memahami bahwa produk tembakau alternatif adalah upaya kelompok tertentu dalam menguasai bisnis emas hijau ini. Maka ketika Philip Morris International mengakuisisi Fertin Pharma, jelas sudah tujuannya.
Setelah nantinya industri rokok tereleminasi oleh skema yang dimainkan, maka produk alternatif penggantinya sudah siap dilariskan dengan (lagi-lagi) memainkan narasi kesehatan. Jadi, tujuan dari agenda akuisisi yang dilakukan pemain besar ini tak lain dan tak bukan adalah penguasaan dan perluasan pasar belaka.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024