Press ESC to close

Presiden Jokowi Harus Perhatikan Pabrik Rokok Kecil

Upaya penyederhanaan struktur tarif cukai sebagai cara pemerintah mengejar target penerimaan, jelas itu kekonyolan yang fatal. Bagaimana tidak, kenaikan cukai tiap tahun saja sudah berdampak pada kukutnya sejumlah pabrik rokok. Lantas kini mengarah pada penerapan simplifikasi yang akan membawa kerugian lebih besar bagi ekonomi masyarakat.

Dua hal yang harus dicermati pada perkara simplifikasi cukai ini adalah bakal terjadinya oligopoli di industri rokok, serta bergugurannya pabrikan kecil menengah. Kebijakan CHT yang jauh dari kata berpihak pada sektor kecil ini tentu sangat bertentangan dengan visi ekonomi kerakyatan yang dicita-citakan Presiden Jokowi.

Mestinya pemerintah mengkaji lebih dalam terkait konsekuensi yang bakal diterima dari berlakunya kebijakan simplifikasi. Apalagi di masa pademi sekarang ini, sikap mawas diri pemerintah haruslah lebih dikedepankan, mengingat banyak sektor usaha masyarakat yang terpukul, lebih lanjut lagi pada masyarakat yang hidup dari sektor kretek.

Upaya pemerintah dalam melakukan optimalisasi penerimaaan melalui kebijakan cukai yang demikian eksesif, sebaiknya mempertimbangkan indikator ekonomi, iya menyangkut pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta kondisi daya saing. Pernyataan gamblang ini disampaikan pihak GAPPRI dalam menyikapi kebijakan simplifikasi.

Baca Juga:  Beban Berat Petani Tembakau di Kala Ramadan

Menurut kajian GAPPRI, sebagai konfederasi IHT yang beranggotakan pelaku usaha kretek dari berbagai golongan, menyatakan bahwa simplifikasi cukai justru mempersulit industri, sangat tidak sejalan dengan visi ekonomi kerakyatan yang digelorakan presiden.

Selain itu, penerapan simplifikasi cukai justru makin menambah angka pengangguran baik di sektor hulu dan hilir. Bagi industri bermodal besar, penyederhanaan tarif ini tentu tak berarti apa-apa, namun akan sangat terasa bagi pabrik rokok lokal dengan modal kecil.

Mereka, sebagian besar pabrik sekala kecil menengah (golongan II dan III) jelas akan kalah jika harus mengikuti tarif  cukai yang sama dengan golongan atas. Sebagaimana kita tahu, pabrikan harus membayar cukai terlebih dahulu sebelum memproduksi rokok seturut kuota produksinya.

Penolakan GAPPRI terhadap kebijakan CHT yang mengarah pada simplifikasi ini jelas sangat beralasan. Mengingat dampak yang ditimbulkan akibat pemberlakuan simplifikasi yang membawa kerugian bagi para pelaku usaha kretek, petani tembakau-cengkeh serta masyarakat lainnya.

Presiden Jokowi harus lebih memperhatikan kondisi faktual yang diderita masyarakat yang hidup dalam ekosistem kretek, apalagi selama ini beliau begitu menggelorakan visi Nawacita yang berakar pada asas ekonomi kerakyatan, mestinya ini menjadi perhatian khusus.

Baca Juga:  Limbah Rokok Memiliki Nilai Ajaib Bagi Insan Kreatif

Biar lebih gamblang lagi, dengan pemberlakuan penyederhanaan golongan tarif cukai, pemerintah jelas memaksa pabrikan-pabrikan kecil untuk membayar tarif cukai lebih tinggi dari biasanya. Hal ini terjadi karena tarif cukai yang bakal dibayarkan mereka disetarakan dengan golongan yang lebih tinggi.

Sementara nantinya, pabrikan besar asing dengan modal besar bakal diuntungkan karena hanya membayar cukai di angka yang sama dengan pabrikan lokal. Dengan demikian, pabrikan kecil yang tidak mampu membayar tarif akan kewalahan bersaing. Dan yang tak dapat dihindari, PHK bakal banyak terjadi karena banyak pabrik rokok lokal yang bangkrut. Pengangguran meningkat. Krisis ekonomi akan semakin parah.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah