Press ESC to close

Kenapa Orang Tetap Merokok Walau Keadaan Sulit?

Orang tetap merokok adalah pilihan untuk mengendurkan kesuntukan hidup yang dialami, itu sudah menjadi pilihan yang lumrah. Sejak dulu, kandungan pada tembakau telah diakui para ahli; dapat memberi efek relaksasi dan pengobatan.

Di masa pandemi yang serba riskan ini, dimana banyak sektor usaha terpukul, sehingga berakibat pada meningkatnya angka pengangguran. Pemrintah belum mampu memberi solusi yang jitu. Selain pembatasan sosial yang ditempuh untuk memutus mata rantai sebaran virus, dalam hal ini, pemerintah mengupayakan pula vaksinasi untuk masyarakat, yang sebagian besar dibiayai dari pinjaman luar negeri.

Sebagaimana kita tahu, bahwa per-April 2021, hutang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 6.527,29 triliun. Perpanjangan PPKM sampai akhir Agustus bukan tidak memberi dampak serius. Terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat, terhambatnya proses distribusi kebutuhan, anjloknya pendapatan sektor UMKM, bahkan banyakyang terpaksa berhenti beroperasi. Belum lagi, jika kita tilik nasib masyarakat yang hidup dari sektor pariwisata dan hiburan.

Di tengah kesuntukan akibat pembatasan sosial dan terpuruknya kondisi ekonomi negara, masyarakat diperolok pula oleh drama hukum terkait korupsi Bansos yang dilakukan Juliari. Pula sirkus kepentingan yang mengarah pada agenda politik 2024 melalui berbagi bentuk gimmick-nya. Apakah semua drama politik itu menghibur masyarakat? Tentu tidak.

Baca Juga:  Bisnis Rokok Elektrik Kini Mulai Memanfaatkan Peran Pejabat Daerah

Sejatinya, masyarakat sudah muak dengan kondisi pandemi yang terus saja menjadi ruang amplifikasi kepentingan kelompok-kelompok yang memainkan isu kesehatan. Di antaranya dengan menyebut hasil riset tentang daya konsumsi perokok di masa pandemi, hal yang menunjukkan seakan-akan perokok tak berempati pada nasibnya sendiri di masa yang serba krisis ini.

Ujung-ujungnya, hal itu hanyalah cara untuk mendesak pemerintah menaikkan tarif cukai rokok. Jika rokok terus disebut sebagai musuh kesehatan oleh lembaga antirokok ini. Kenapa jadi cukai rokok yang didorong naik, ilegalkan saja sekalian. Habis perkara toh.

Padahal nih ya, walaupun harga rokok terus naik, masayarakat selalu punya pilihan untuk bisa ngebul. Dengan tingwe misalnya. Orang tetap merokok karena rokok menjadi salah satu sarana rekreatif yang realistis untuk diakses.

Coba tilik lebih lanjut, kondisi serba sulit ini berasal dari mana? Bukankah pemerintah berkewajiban mencipta kesejahteraan rakyatnya dengan bijak. Ini kok malah terus didorong memeras rakyat melalui cukai demi mengatasi carut marutnya kondisi ekonomi negara. Absurd memang antirokok.

Baca Juga:  Persiapan Buleleng Menghadapi Musim Tanam Tahun Ini

Seharusnya, pemerintah berterimakasih kepada mayoritas perokok yang di masa pandemi tetap membeli rokok. Jika semua perokok berhenti merokok, terus beralih mengisap kaleng aibon sekadar untuk mendapatkan efek relaksasi, yang itu jelas-jelas berbahaya. Apa tidak ambruk tuh target penerimaan cukai untuk APBN, darimana lagi negara dapat devisa besar coba? Konyol memang.

Sudah tahu yang dibutuhkan masyarakat adalah sikap kejelasan pemerintah untuk segera menuntaskan pandemi, agar rakyat dapat keluar dari kondisi yang serba sulit. Kok ya malah cukai rokok yang didorong naik, jangan-jangan, ini jurus kongkalingkong saja, demi merasionalisasi biaya kampanye kesehatan yang diambil dari DBHCHT.

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah