Press ESC to close

Melindungi Tembakau, Menjaga Kedaulatan

Dari sekian komoditas perkebunan di Indonesia, tembakau menjadi komoditas yang sangat diandalkan devisanya. Setiap tahun pendapatan yang diraup negara sekurangnya mencapai 170 triliun rupiah. Dari tahun ke tahun negara terus bergantung dari penerimaan cukai yang tak bernilai sepele ini.

Bisnis yang bergerak dari sektor komoditas ini tercatat mampu menyerap 5,98 juta pekerja, terbagi di sektor manufaktur, sektor distribusi dan perkebunan. Industri Hasil Tembakau memang diakui oleh banyak pihak sebagai sektor padat karya, terutama dari sisi SKT.

Artinya, sektor IHT sejauh ini bersumbangsih tidak hanya dari sisi fiskal, namun juga mampu memberi lapangan pekerjaan yang cukup luas. Dapat kita runut dari hulu hingga hilir industrinya, semua mata rantai pekerjaan yang terlibat di sektor riil ini tidaklah sedikit, sehingga mencipta ekosistem ekonomi yang berkesinambungan.

Tembakau bisa dikatakan menjadi simbol dari ketahanan ekonomi bangsa. Seperti yang kita tahu juga, industri rokok menjadi salah satu industri yang dijadikan tiang Pemulihan Ekonomi Nasional di masa pandemi ini. Belum lagi jika kita tilik kontribusi cukainya yang dialokasikan untuk menunjang JKN.

Namun paradoksnya, komoditas emas hijau ini tak pernah berhenti dari rongrongan kepentingan kelompok antitembakau. Kelompok yang melulu menggunakan isu kesehatan untuk mendiskreditkan tembakau serta produk hasil industrinya.

Baca Juga:  Kenapa Jokowi Bisa Selip Lidah Soal Rokok?

Bukan lagi rahasia memang, kalau gerakan mereka yang anti itu mengacu pada agenda besar dari kepentingan rezim antitembakau global dalam upaya penguasaan tembakau. Bisa ditengarai dari isu-isu yang dimainkan. Di antaranya melalui isu Kawasan tanpa Rokok, isu stunting, isu kemiskinan dan kesehatan.

Intinya, segala tudingan buruk yang menyasar pada rokok serta konsumennya, tak lain untuk mendesakkan diratifikasinya traktat pengendalian tembakau global yang disebut FCTC. Bagi negara-negara yang bukan penghasil tembakau, meratifikasi FCTC mungkin tidak akan terlalu signifikan dampaknya.

Berbeda dengan Indonesia, ada jutaan masyarakat yang bergantung hidup dari sektor IHT. Termasuk pula negara yang terus bergantung dari penerimaan cukai hasil tembakau untuk mengongkosi program-program penyejahteraan rakyat. Terlebih lagi di masa pandemi ini.

Atas dasar itulah, Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kabinet Terbatas 14 Juni 2016 menegaskan tidak akan meratifikasi FCTC dan menyatakan bahwa Indonesia harus melihat kepentingan nasional, tidak boleh ikut-ikutan negara lain serta perlu mempertimbangkan banyak hal.

Tembakau adalah komoditas strategis yang menjadi simbol dari kedaulatan bangsa ini. Tidaklah berlebihan jika pemerintah sendiri tidak ingin penerimaan dari sektor ini menjadi hilang bilamana menuruti desakan agenda FCTC.

Baca Juga:  Peraturan Soal Rokok di Aceh Harus Inklusif Terhadap Perokok

Sebagaimana kita tahu, IHT termasuk industri dengan peraturan yang sangat banyak (highly regulated). Selain PP 109/2012 yang dijadikan acuan utama dalam upaya mengatur segala kepentingan yang menyangkut kesehatan. Ada bebebrapa produk regulasi lain yang mendukung agenda di atasnya.

Namun, desakan kepentingan global dalam upaya mendikte kebijakan bisnis tembakau di Indonesia terus saja berlangsung. Hal ini tentu menjadi ancaman yang mengarah pada matinya sektor IHT serta hilangnya penerimaan negara serta lonjakan pengangguran.

Maka, perlu perhatian khusus yang tak main-main dalam upaya melindungi komoditas strategis ini. Sudah semestinya negara memberi jaminan perlindungan yang serius, menolak segala bentuk intervensi global yang mengancam sektor IHT. Agar sektor strategis ini terus hidup, tak sebatas menjadi simbol kedaulatan bangsa, sekaligus demi menjaga kelangsungan sumber hidup banyak orang.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah