Press ESC to close

PBNU Merespon Wacana Kenaikan Cukai Rokok 2022

Kenaikan cukai rokok tiap tahun makin menjelaskan siapa ‘ahli hisap’ yang tak simpatik terhadap nasib IHT di negeri ini. Konteks ahli di sini tak lain dan tak bukan ialah  pemerintah yang terus menghisap pungutan cukai sehingga membuat harga rokok terus meroket.

Bagaimana tidak, dari pungutan pajak yang berlapis-lapis ditambah pungutan cukainya. Jika dihitung secara porsentase, pemerintah dapat meraup 70 persen, sementara industri hanya mendapatkan 30 persennya.

Bukan main memang, praktik penghisapan yang didapat dari bisnis rokok di Indonesia. Pemasukan yang tiap tahunnya mencapai Rp 170 triliun dari rokok tak sepenuhnya dirasakan adil dan memakmurkan stakeholder pertembakauan.

Setelah dua tahun terakhir dikemplang pungutan cukai yang gila-gilaan angkanya, kemudian telah diwacanakan lagi untuk 2022 kenaikannya mencapai 11 persen. Komoditas yang dicap  musuh kesehatan ini justru menjadi ladang andalan pemerintah untuk menambal kegagalan pemerintah dalam mengelola anggaran negara.

Saban tahun pemerintah seperti tak mau ambil peduli pada dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat yang bergantung hidup dari sektor tembakau. Saban tahun pula pemerintah menuai protes, namun, seperti tak mau ambil peduli dengan nasib masyarakat yang terdampak oleh kenaikan cukai rokok.

Baca Juga:  Jadi Produk Ekspor, Tembakau Indonesia Harus Diperhatikan

Kenaikan tarif cukai untuk 2022 yang tengah dirumuskan itu, mendapatkan respon yang cukup serius dari PBNU. Di tengah kondisi pandemi yang tak memberi kepastian bagi nasib masyarakat, pihak PBNU menilai, pemerintah justru menambah beban bagi masyarakat.

Mengingat dampak kenaikan cukai sudah bisa dipastikan berakibat pada menurunnya serapan tembakau dari petani. Dalam hal ini industri memang harus bersiasat dengan membatasi kuota permintaan agar tetap bisa berproduksi.

Sebagaimana kita tahu, sebelum memproduksi rokok, pihak industri harus menalangi beban cukai sesuai kuota yang ditargetkan. Di tengah menurunnya daya beli pasar, tak dipungkiri, naiknya harga rokok membuat konsumen banyak yang beralih. Ini pula konsekuensi yang menjadi dilema bagi industri.

Lantaran kondisi itulah, tak sedikit pabrikan yang akhirnya berhenti beroperasi, tak sanggup lagi menangung beban biaya produksi. Beberapa lainnya, terpaksa harus mengambil langkah efesiensi pengurangan tenaga kerja. Kondisi ini mengakibatkan pula pada meningkatnya angka pengangguran.

Pihak PBNU menilai, perlu perumusan sebuah roadmap yang melibatkan seluruh stakeholder terkait agar tercipta keselarasan. Artinya, pihak-pihak kementerian yang selama ini berkepentingan harus dapat memberi rasa adil serta jaminan kesejahteraan bagi masyarakat yang bergantung hidup dari tembakau.

Baca Juga:  Tar Pada Rokok Dianggap Berbahaya, Kenapa?

Tidak melulu hanya didasarkan pada pertimbangan terget penerimaan, pengendalian prevalensi, kebijakan ekspor-impor, penyerapan tenaga kerja serta menyangkut keberlanjutan industri. Hal ini yang mestinya berselaras dalam sebuah roadmap.

Selama ini, pemerintah dinilai tidak bersimpatik dalam memberi perlindungan terhadap sektor IHT. Tentulah diperlukan sikap saksama dan berselaras dari pemerintah dalam mengambil satu keputusan yang menjamin kesejahteraan bagi seluruh masayarakat.

Apalagi ini sudah menyangkut hajat hidup orang banyak. Iya mestinya bukan terus saja mengandalkan pemasukan dari cukai rokok. Jika hanya mengejar target kepentingan pihak masing-masing, iya tidaklah keliru jika pemerintah dicap ‘ahli hisap’ yang tak bertanggung jawab terhadap masa depan IHT serta masyarakat sebagai penyumbang devisa.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah