Harga rokok tak pernah berhenti naik dari tahun ke tahun. Di tengah kondisi masyarakat yang serba sulit akibat pandemi. Pemerintah justru mematok kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang kenaikannya mencapai 11 persen untuk tahun 2022. Target penerimaannya sebesar Rp 203,9 triliuan.
Bagi pemerintah menaikkan cukai adalah jurus andalan untuk mengatasi kondisi keuangan negara yang morat marit akibat pandemi. Bagi masyarakat naiknya harga rokok jelas menjadi beban yang harus disiasati. Sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Begitu rokok harganya naik, biasanya akan dibarengi dengan kenaikan harga-harga produk konsumsi dasar di masyarakat. Kenaikan tarif cukai juga memberi dampak pada pembatasan kuota produksi yang ditetapkan pabrik rokok. Walhasil, permintaan tembakau ke petani menurun.
Gambaran-gambaran itulah yang kerap terjadi dari tahun ke tahun. Sementara, di sisi lain pemerintah terus menghadapi dilema yang sama-sama berdampak terhadap persoalan ekonomi. Jika tidak menjadikan cukai sebagai andalan, sektor mana lagi di masa pandemi ini yang bisa digenjot.
Terkait kenaikan cukai tahun depan, Kemenkeu Sri Mulyani sudah memastikan akan ada kenaikan dari CHT. Hanya detailnya yang masih dalam proses perumusan. Menurutnya, dalam menentukan kebijakan CHT, pemerintah akan tetap mempertimbangkan empat pilar penting.
Pertama dari sisi kesehatan, yakni bagaimana mengendalikan konsumsi rokok di dalam negeri terutama bagi anak-anak. Kedua, dari sisi tenaga kerja yang bekerja di industri rokok serta petani tembakaunya sendiri. Ketiga, dari sisi rokok ilegalnya. Dimana pemerintah ingin peredaran rokok ilegal tidak bertambah dengan adanya kebijakan kenaikan tarif CHT ini. Keempat, adalah dari sisi penerimaan negara sendiri.
Sudah bisa dipastikan lagi, konsekuensi dari kebijkan cukai ini akan menjadi beban bagi stakeholder kretek. Salah satu pihak yang secara langsung akan terdampak tentu adalah konsumen. Sebagai pembayar cukai, kenaikan tarif tentu akan membuat lebih banyak lagi uang mereka yang disedot negara.
Sekilas, naiknya tarif cukai tentu bakal membuat penerimaan dari sektor ini naik. Padahal, jika berkaca pada kejadian tahun 2020, logika seperti itu tidak berlaku di urusan cukai. Penerimaan negara dari uang cukai amat dipengaruhi oleh besaran penjualan.
Jika kemudian penjualan rokok anjlok, lantaran konsumen banyak yang beralih mengisap yang lebih murah dan terjangkau, maka penerimaan negara dari cukai juga akan turun. Hal ini lah yang kemudian terjadi pada penerimaan cukai yang lalu. Apakah kenyataan serupa akan terjadi lagi pada penerimaan cukai yang sudah ditargetkan pada tahun ini?
Meski memang, pemerintah tak dapat memungkiri konsekuensi yang harus ditanggung. Namun mestinya, negara jangan hanya terus dan terus ketergantungan menerima pemasukan besar dari rokok, tanpa mau tahu bagaimana industri hasil tembakau berjalan.
Sebagai konsumen, kita tentu punya pilihan bebas untuk terus ataupun berhenti menyumbang buat negara melalui cukai. Namun yang perlu diingat, banyak masyarakat kita yang masih bergantung hidup dari sektor kretek, inilah satu alasan penting, kenapa saya sendiri tetap memilih ngudud.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024