Press ESC to close

Cukai Hasil Tembakau Sering Tidak Tepat Sasaran

Cukai hasil tembakau sebagai pungutan di luar pajak kerap lebih menguntungkan pemerintah ketimbang yang dirasakan penerima manfaatnya. Kondisi ini terlihat dari berlapis-lapisnya beleid tentang cukai serta pungutan pajak diluar cukai.

Produk hasil tembakau berupa rokok menjadi produk konsumsi yang menanggung beban pungutan ganda dalam konteks ini. Perlu diketahui, selain rokok dipungut cukainya, ia harus dikenai juga Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Terkait pungutan cukai ini diatur PMK-206/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBHCHT, prioritas penggunaan DBHCHT dibagi mejadi tiga bagian. Pertama adalah bidang kesejahteraan masyarakat dengan porsi 50% yang terdiri dari program pembinaan lingkungan sosial dan program peningkatan kualitas bahan baku.

Kedua adalah bidang penegakkan di bidang hukum dengan porsi 25% yang terdiri dari program pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan program pemberantasan barang kena cukai ilegal. Ketiga adalah bidang kesehatan dengan porsi 25%.

Diketahui, berdasarkan APBN tahun 2021, rincian anggaran DBHCHT sebesar 3,47 trilliun rupiah. Lebih tinggi dari anggaran DBHCHT tahun 2020 yang mencapai 3,46 triliun rupiah. Alokasi dana itu akan disebar ke seluruh provinsi hingga kabupaten/ kota.

Baca Juga:  Walikota Tangerang dan Upaya Melindungi Masyarakat dari Paparan Asap Rokok

Namun, jika tilik lebih dalam, praktik optimalisi pemanfaatan DBHCHT ini kerap tak sesuai peruntukannya. Misalnya saja soal program pembinaan lingkungan sosial, pada prakteknya dipakai untuk kepentingan kampanye kesehatan terkait bahaya rokok.

Iya jelas kampanye itu tidak efektif, bukannya mengedukasi masyarakat agar sadar akan hak masyarakat lain, ini malah mengarah pada menakut-nakuti perokok akan bahaya rokok. Ini baru satu hal, pada sisi lain peruntukan yang seharusnya kembali ke petani dan pekerja IHT justru praktiknya justru berbeda.

Bahkan, berdasar temuan lapangan pada tahun lalu, sebagian pemerintah daerah tidak menggunakannya, sehingga sisa. Sebagaimana kita tahu, di masa pandemi ini banyak pekerja sektor tembakau serta buruh pabrik banyak yang dirumahkan dan mestinya dapat terbantu dengan adanya DBHCHT ini. Justru banyak yang tidak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai.

Berdasar data dari Kementerian Keuangan, terdapat 28 Propinsi yang menerima DBHCHT, tercatat penerima terbesarnya adalah Jawa Timur. Dana cukai selama ini kita pahami dikelola pemerintah pusat, yang dimasukkan ke APBN, secara umum untuk kepentingan belanja negara.

Kemudian, pemerintah daerah menerima dana ini lebih sedikit. Dana bagi hasil tersebut selanjutnya digunakan untuk beragam hal sesuai arahan Kemenkeu. Lucunya, berdasar temuan di lapangan, terjadi salah kaprah terkait pemanfaatannya. Diarahkan untuk pembelian fasilitas kedinasan berupa mobil yang kononnya untuk sosialisasi cukai.

Baca Juga:  Jatah Preman ala Antirokok

Sementara, pada kondisi nasib para pekerja yang terdampak pandemi, lantaran pula tempat kerjanya tak sanggup lagi menanggung beban produksi akibat regulasi cukai yang menekan. Pemerintah daerah harusnya mengambil langkah untuk mengatasi persoalan ini. Kok ya malah skip, tidak ada upaya yang dilakukan seturut asas peruntukkan DBHCHT.

Artinya, jika persoalan DBHCHT ini di tingkat pusat maupun daerah tidak dikelola dengan becus dan salah kaprah, iya jangan salahkan jika public distrust makin menguat. Bukan mustahil akan menimbulkan gejolak sosial akibat keterpurukan ekonomi sehingga menimbulkan gelombang protes besar nantinya.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah