Press ESC to close

Harga Rokok Bukan Faktor Penentu Jumlah Perokok

Sebagian pihak menilai kenaikan tarif cukai rokok akan memberi dampak positif. Tetapi tentu tidak bagi konsumen. Sebagai konsekuensi logis, akan terjadi lonjakan harga jual rokok, selain juga berpengaruh langsung terhadap hulu industri. Serapan tembakau dari petani untuk industri rokok menjadi menurun akibat bberapa pabrikan besar membatasi kuota serapannya.

Tak ayal, dampak dari mahalnya harga rokok, konsumen pada akhirnya mengambil beberapa alternatif. Mulai dari beralih membeli rokok yang lebih terjangkau (karena ada beberapa pilihan rokok yang harganya relatif murah), hingga alternatif beralih ke tingwe.

Cukai rokok sebagai instrumen pengendali menjadi alasan para pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuan tertentu, salah satu argumennya adalah untuk menekan angka prevalensi perokok. Alasan itu sejalan dengan agenda kesehatan yang selama ini kerap mendiskreditkan rokok sebagai biang kerok segala penyakit.

Namun, pada faktanya, meski cukai rokok dikerek naik secara gila-gilaan, perokok tetap punya cara untuk bisa merokok. Itu artinya, argumen yang menyebut kenaikan cukai dapat menekan angka perokok jelas tak sepenuhnya terbukti dan layak dipertanyakan.

Hal senada juga diutarakan oleh beberapa pengamat dan peneliti. Sebagai contoh adalah rilis dari tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB).

Mereka menyimpulkan bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif. Sebaliknya, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang eksesif setiap tahunnya, lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok.

Baca Juga:  Bandung, Kota yang Mengabaikan Penyediaan Ruang Merokok

“Kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok karena kenaikan harga rokok bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok,” kata Imanina Eka Dalilah, peneliti PPKE FEB UB.

Fakta yang sering terjadi justru menurunnya serapan tembakau petani, serta meningkatnya angka pengangguran akibat kena PHK dari pabrik rokok yang terdampak kenaikan cukai. Itu jelas bukan suatu kabar positif bagi cita-cita yang diemban pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya. Terlebih dampaknya bagi target penerimaan negara dari cukai rokok jelas akan sulit tercapai.

Satu lagi yang absurd dari argumen mereka terkait dampak positif kenaikan cukai adalah dapat mencegah tingginya angka perokok anak. Sementara dalam konteks ini, pabrik rokok sudah berlaku taat asas, di antaranya dengan mencantumkan peringatan pada produknya; untuk tidak dikonsumsi oleh anak di bawah umur. Hanya untuk usia 18 tahun ke atas.

Tanda peringatan yang terpajang di etalase ritel rokok dengan menggunakan simbol 18+ itu sudah jelas bentuk taat asas. Bahwa para pihak yang berurusan dengan rokok sudah menjalankan aturan yang ditetapkan. Belum lagi regulasi soal kemasan yang terus berkembang. Selebihnya adalah tugas pengawasan dari otoritas, serta pengawasan dan edukasi keluarga sebagai lingkungan terkecil, dalam hal ini adalah orangtua.

Baca Juga:  Rokok dari Ibu Menteri

Joko Budi Santoso, peneliti PPKE FEB UB lainnya, juga menyebut bahwa setelah melakukan beragam kajian strategis secara berkelanjutan, dapat disimpulkan faktor dominan penyebab seseorang berhenti merokok di antaranya adalah periode merokok, jumlah konsumsi rokok per hari, pendidikan, dan rata-rata pendapatan.

Inti dari rilis mereka adalah menegaskan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai tidak efektif menurunkan angka prevalensi perokok di Indonesia. Demikian juga dengan regulasi larangan display rokok, pelarangan iklan siaran dan iklan luar ruang. Sebaliknya, justru berdampak pada semakin masifnya peredaran rokok ilegal yang kerap jadi alternatif konsumen di tengah melambungnya harga jual.

Bukan lagi rahasia memang, kalau di balik ini semua ada kepentingan tertentu dalam upaya menebalkan stigma negatif serta diskriminasi konsumen rokok. Stigma ini terus saja dikampanyekan untuk mengaburkan persoalan yang sebenarnya. Sementara proses edukasi malah terabaikan, bahkan seperti tidak dianggap penting.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd