Press ESC to close

Kebijakan Menutup Display Rokok Itu Berlebihan

Memajang rokok di etalase adalah hal yang wajar, setidaknya begitu menurut saya. Para kasir di ritel tak pernah menunjuk ke arah display rokok seraya menawarkan rokok pada setiap pembeli ketika hendak membayar. Berdasarkan pengalaman pribadi, saya hanya pernah mendapat tawaran untuk mengisi pulsa atau tawaran membeli aneka roti di meja kasir. Sesekali mereka menanyakan kesediaan kita untuk menyumbang.

Saya juga gak akan keras kepala membela jika ada kasir yang kedapatan ngomong “Sekalian rokoknya, Mas,” pada pembeli, terutama anak dan ibu hamil. Lantas, kok masih ada yang melarang display rokok dengan alasan menekan prevalensi anak dan ibu hamil yang merokok?

Kampanye buruk tentang rokok kini tak hanya dilakukan lewat propaganda-propaganda kesehatan, tapi juga lewat berbagai regulasi (umumnya Perda), tentunya dengan narasi kesehatan juga. Pemerintah Daerah kini telah bertransformasi jadi stimulan dalam gerakan antirokok. Amat disayangkan ketika Pemda mau mengakomodir logika absurd antirokok dalam menyusun regulasi.

Kota Bogor adalah pionir dalam regulasi ini. Sikap kami tentang regulasi di Kota Bogor bisa dilihat di sini. Dari regulasi itu, nampak jelas sikap Pemda (dalam hal ini Pemda Kota Bogor) yang tidak proporsional pada persoalan rokok. Kalau tidak segera disikapi, Kota Bogor bisa saja menjadi role model bagi daerah lain.

Di Kota Depok, larangan display rokok bahkan tak hanya berlaku bagi ritel modern. Larangan ini telah menjamur ke tingkat kelurahan, dan diberlakukan hingga ke warung-warung klontongan. Regulasi ini dilegitimasi oleh Surat Edaran yang dikeluarkan oleh kelurahan. Saya ulangi, hanya dilegitimasi oleh Surat Edaran dari kelurahan. Setiap orang dan/atau badan usaha yang menjual rokok hanya boleh memberi tanda “di sini menjual rokok”.

Baca Juga:  Kemunculan Produk Alternatif Tembakau Adalah Bukti Perang Nikotin Terjadi

Berlebihan, bukan?

Masih wajar?

Akan semakin takjub setelah mengetahui alasan diberlakukannya larangan tersebut adalah untuk mengantisipasi anak dan ibu hamil yang merokok. Sungguh sebuah regulasi yang jelas tidak tepat sasaran. Setidaknya ada dua hal yang, menurut saya, membuat regulasi ini jelas tidak tepat sasaran.

Pertama, anak dan ibu hamil bisa mendapat rokok dari manapun. Anak-anak bisa tetap merokok tanpa membeli langsung ke warung. Mereka bisa secara sembunyi-sembunyi merokok setelah mengambil rokok ayahnya secara sembunyi-sembunyi pula. Ini tentu bukan hal yang baik. Tapi, setidaknya cukup membuktikan bahwa larangan display rokok tidak efektif untuk menekan prevalensi perokok anak dan ibu hamil.

Kedua, ada hal yang lebih masuk akal untuk dilakukan daripada menutup display rokok, yaitu membangun kesadaran bagi pedagang, anak dan ibu hamil dengan pendekatan yang persuasif. Otoritas daerah bisa memberi edukasi bagi pedagang agar memperkrtat penjualan rokoknya, jangan berikan pada anak kecil. Bisa juga dengan memberi penyuluhan melalui sekolah-sekolah dan menjelaskan bahwa merokok boleh saja, tapi kalau sudah 18 tahun.

Pun demikian halnya dengan ibu hamil, mereka berhak atas edukasi bahwa janin yang dikandungnya tidak cukup kuat untuk menerima risiko rokok. Meski sebenarnya saya juga tak pernah bertemu ibu hamil yang sedang asyik nyebats.

Harus diakui, warung klontong memang identik dengan poster dan iklan rokok. Tapi, gambar-gambar rokok rasanya tak cukup ampuh untuk menghipnotis seseorang yang ke warung untuk membeli sabun, berubah pikiran jadi membeli rokok. Sangat amat berlebihan jika menganggap gambar dan iklan rokok itu sebagai faktor dominan seseorang merokok.

Baca Juga:  Benarkah Rokok Sebagai Penyebab Stunting? Begini Hasil Riset PPKE UB

Beberapa warung memang bermitra dengan distributor rokok. Tujuannya jelas: sebagai siasat ekonomi. Para pedagang kerap mendapat keuntungan dari kerja samanya dengan pihak distributor. Keuntungan tersebut, meski tak seberapa, boleh jadi sangat berpengaruh bagi kelangsungan usaha mereka.

Sebenarnya saya sudah cukup maklum dengan logika absurd antirokok. Sialnya, logika yang absurd ini ternyata masih diminati oleh sebagian pejabat di republik ini. Daerah yang mengakomodir gagasan tersebut bertambah. Terbaru adalah DKI Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengeluarkan Seruan Gubernur yang intinya mengatur hal serupa. Satpol PP DKI pun bertindak, menutup display rokok di swalayan. Alasannya apa? Ya, sama saja seperti di Bogor dan Depok.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengkonfirmasi bahwa Pemprov DKI tengah menyiapkan regulasi lain sebagai ketentuan reward dan punishment. Ada sanksi yang disiapkan. Seruan Gubernur bukanlah peraturan hukum yang mengikat. Hanya bersifat himbauan, tak ubahnya Surat Edaran dari kelurahan tadi. Lha, kok pakai sanksi?

Itu sebabnya kebijakan menutup display rokok (baik di swalayan maupun warung klontong) adalah sesuatu yang berlebihan. Semakin berlebihan jika disertai ancaman hukuman. Kalau ini dibiarkan berlanjut dan menjadi lumrah, saya khawatir memajang rokok di rumah sendiri pun akan dilarang di kemudian hari.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *