Search
kenaikan cukai rokok

Kenaikan Tarif Cukai Rokok Ditolak, Ini Alasannya

Kenaikan tarif cukai rokok tiap tahun selalu membawa dampak yang tak menggembirakan bagi stakeholder pertembakauan. Pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp203,9 triliun dalam RAPBN Tahun Anggaran 2022. Jumlah tersebut meningkat sebesar 11,84 persen dari outlook penerimaan cukai APBN 2021 yang sebesar Rp182,2 triliun.

Oleh pemerintah kenaikan cukai kerap dijadikan sebagai instrumen pengendalian konsumsi dalam rangka mengurangi angka prevalensi perokok. Menjelang pengumuman kebijakan tarif cukai tahun depan, repetisi isu prevalensi kembali gencar didengungkan. Gelombang penolakan muncul secara simultan dari masyarakat pertembakauan.

Perlu diingat, meski dari tahun ke tahun cukai naik, angka perokok tidak serta menurun. Artinya, dengan dinaikkannya cukai faktanya tidak berbanding lurus dengan penurunan angka perokok. Teori kenaikan cukai tidak memperhitungkan teori elastisitas perokok.

Dengan kata lain, meskipun cukai naik, perokok memiliki kemampuan elastis untuk beralih ke rokok yang lebih murah. Dalam konteks ini sejatinya pemerintah hanya memanfaatkan dalil kesehatan hanya untuk tetap mendapatkan keuntungan dari IHT.

Triliunan rupiah tiap tahun yang diterima negara tentu saja bukan angka yang kecil, bahkan bisa dikatakan mampu menambal kebocoran APBN akibat pandemi. Sebagaimana kita tahu, persoalan pandemi telah mengakibatkan terpukulnya banyak sektor usaha dalam negeri. Sehingga kemudian pemerintah menjadikan pula sektor IHT sebagai bagian dari pilar Pemulihan Ekonomi Nasional di masa pandemi.

Baca Juga:  Menjadikan Kretek Sebagai Produk Indikasi Geografis Kudus

Setidaknya, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan akibat dari kenaikan cukai rokok, lantaran dampaknya tidak hanya dirasakan oleh stakeholder pertembakauan, namun turut menyumbang dampak inflasi terhadap harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Untuk itu kenaikan tarif cukai rokok harus ditolak.

Pertama

Adanya kenaikan harga rokok akibat tarif cukai naik, dapat menurunkan produksi rokok legal sebesar 1%, namun di lain sisi diketahui terjadi peningkatan volume peredaran rokok ilegal hingga 8% secara umum, dan hingga 50% khususnya pada SKM dan SPM golongan II.

Meningkatnya peredaran rokok ilegal ini jelas kontraproduktif dengan target penerimaan pemerintah dari cukai. Negara mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat dari maraknya peredaran rokok non cukai di pasaran. Konsumen menjadi pihak yang dihimpit dilema pada kondisi semacam ini. Masyarakat luas menangung kenaikan harga-harga kebutuhan pokok pada gilirannya.

Kedua

Dengan naiknya tarif cukai, otomatis industri akan melakukan langkah-langkah efesiensi terkait beban produksi akibat cukai yang harus dibayar di muka. Langkah yang diambil di antarnya pengurangan kuota bahan baku tembakau. Pula dalam konteks industri rokok kretek, berdampak terhadap serapan cengkeh. Industri kretek sejauh ini tetap membutuhkan cengkeh sebagai penegas citarasa produk.

Dalam dua tahun terakhir saja petani mengalami masa-masa yang sulit. Pada musim panen 2020, tercatat sebagai salah satu musim panen terburuk yang pernah dialami petani. Meski tidak mengalami musim cuaca yang buruk, petani tembakau justru menghadapi musim buruk akibat regulasi.

Baca Juga:  Semua Pasal terkait Tembakau di Draf RPP Kesehatan Berbahaya, Ini Faktanya!

Ketiga

Dengan naiknya tarif cukai rokok, efesiensi yang dilakukan pabrikan adalah dengan merumahkan sejumlah pekerjanya. Setidaknya, beradasar data yang disampaikan FSP RTMM Jawa Timur, dalam hitungan satu tahun saja 5000 pekerja menjadi pengangguran akibat naiknya cukai rokok. Selama pandemi, tercatat sudah tiga pabrik di Jawa Timur yang terpaksa tutup, selebihnya harus bertahan dengan strategi efesiensi.

Tiiap tahun ketiga dampak itu menjadi momok yang membuat masyarakat semakin terhimpit. Lonjakan pengangguran dan menurunnya daya beli menjadi konsekuensi yang harus dihadapi akibat kebijakan cukai di masa-masa pemulihan ekonomi akibat pandemi.

Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya peka dalam hal pengambilan kebijakan cukai, jangan hanya mengandalkan angka dan data yang disodorkan antirokok terkait prevalensi, tetapi juga harus dapat melihat relaita yang terjadi. Ada kepentingan publik lebih luas yang seharusnya menjadi prioritas.