Search
harga rokok

Obat Berhenti Merokok, Apa Itu?

Sekali waktu, cobalah iseng browsing terkait kiat-kiat berhenti dari kebiasaan merokok. Banyak sudah artikel bertebaran menyoal itu. Penjelasannya nyaris senada semua. Pastinya lagi, selain diawali narasi stigmatif terkait kebiasaan merokok, akan ditemukan pula arahan untuk konsultasi ke dokter serta rekomendasi obat berhenti merokok.

Pertanyaannya kemudian, logika apa yang tengah disublimkan melalui atikel semacam itu? Ya, setidaknya ada dua hal. Pertama, logika pembaca tengah diarahkan memaknai rokok sebagai produk yang mengerikan. Kedua, nalar pembaca tengah diusik untuk penasaran. Lantas mencurigai apa yang selama ini dipahaminya tentang rokok.

Curiga adalah modal dasar kita di hadapan informasi. Apalagi di era post truth ini dong. Apapun itu jenis informasinya, kebenaran ditentukan oleh masifitas. Bilamana itu tentang kesehatan, meski secara sadar kita tahu bahwa sehat itu kuncinya soal pola hidup yang seimbang. Hanya kadang, kok jadi nyengir sendiri saya, rokok jadi seperti penentu takdir hidup-mati manusia.

Namun, di lain sisi nalar kritis kita diusik oleh pertanyaan begini, ada kepentingan apa sih di balik info-info kesehatan sampai harus menjelek-jelekan satu produk konsumsi, dan di saat bersamaan menawarkan pula layanan produk lain.

Nah, belum lama ini. WHO merilis dua merek obat berhenti merokok. Nama obat itu bupropion dan varenicline. Jadi teringat lagi buku Nicotine War deh. Ehiya, lacak punya lacak, ternyata Bupropion itu obat yang juga diperuntukkan bagi orang terkena gangguan mental, bipolar maupun scizofrenia. Waduh.

Baca Juga:  Ancaman Kerugian Rp 307 Triliun karena RPP Kesehatan

Lha kok, urusan berhenti merokok saja harus mengonsumsi obat gangguan mental. Memangnya orang merokok karena punya gangguan semacam itu apa? Ini yang menjadi pertanyaan lain.

Kita coba pakai analisa seru-seruannya, terkait apa yang melatari dirilisnya obat pengentas itu ke publik. Pertama, sebelum obat itu dirilis, asal tahu saja sih ini, WHO itu sempat digugat atas model pendekatan advokasinya yang tidak sejalan dengan kepentingan pengendalian tembakau. Tak tanggung-tanggung yang menggugat 100 ahli kesehatan level dunia, ckckck.

Sikap WHO dinilai tidak acuh terhadap potensi transformasi pasar tembakau untuk beralih dari produk tinggi risiko ke rendah risiko, meski sudah banyak inovasi dalam industri. Artinya, WHO harus bersepaham terhadap pemutakhiran produk berbasis nikotin dan yang senyawa sebagai bagian dari transformasi pasar.

Kedua, arah dari kritikan itu dapat kita simpulkan dong, bahwa produk pengentas kebiasaan merokok yang dikenal dengan istilah NRT (Nicotine Replacement Therapy), termasuk rokok elektrik serta jenis obat-obatan lainnya itu bagian dari instrumen pengendalian alias pengalih konsumsi. Pasar memang harus diciptakan, iya di antaranya lewat pengendalian dan subtitusi produk.

Sekadar catatan tambahan, belum lama ini, WHO sebagai organisasi kesehatan dunia yang bertanggung jawab dalam konteks pengendalian tembakau global, pula telah menghimpun 182 negara yang terikat FCTC. Kemarin itu sukses menggelar agenda bersama, dalam upaya evaluasi dan implementasi traktat pengendalian tembakau  di Den Haag, Belanda. Rekomendasi 100 ahli kesehatan itu dapat menjadi sinyal kita membaca gerak-gerik antirokok di Indonesia kedepan.

Baca Juga:  Setelah Nikotin dan Tar, Kini Giliran Gula yang Jadi Kambing Hitam Kampanye Anti-Rokok

Jadi, sebetulnya obat berhenti merokok yang dirilis WHO itu apa sih? Iya obat yang diproduksi oleh industri farmasi dong, apa tidak memiliki efek something bagi kesehatan? Kenapa untuk berhenti merokok harus pakai obat sih, toh banyak perokok yang berhenti dengan cara biasa saja. Iya dengan tidak membeli dan mengurangi jumlah rokok teman, itu sudah.

Lalu tujuan obat ini dirilis apa dong? Biar pabrik rokok bubar gitu, karena semua perokok beralih? Bukan melulu begitu juga, mungkin saja biar etalase dunia banyak gimmick-nya dan kita seperti terhibur sendiri sambil menuntaskan batang terakhir untuk lanjut aktivitas lagi. Semangat Senin!