Press ESC to close

Pengendalian Tembakau dan Liku Logika Negara

Sejak memasuki tahun 2000-an awal Industri Hasil Tembakau di Indonesia telah mengalami berbagai bentuk pengendalian tembakau. Ditengarai dari munculnya regulasi berupa Peraturan Pemerintah tentang penggunaan rokok, pertama kali dikeluarkan pada tahun 1999 melalui PP No 81.

Peraturan Pemerintah ini cukup lengkap, namun telah mengalami dua kali revisi, yaitu pada tahun 2000 dan tahun 2003. Dari aspek pengamanan penggunaan rokok untuk kesehatan, revisi tersebut bukan ke arah yang lebih lengkap, tetapi justru sebalikannya.

Revisi pertama yang dilakukan pada tahun 2000 terhadap PP 81/1999 menjadi PP 38/2000. Revisi ini menyangkut dua hal penting, yaitu tentang iklan dan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar yang diperbolehkan. Upaya menstandarkan konten produk rokok Indonesia ini berkaitan dengan klausul-klausul pada traktat pengendalian global (FCTC) terkait konsumsi produk tembakau.

Bicara soal pengendalian tembakau di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan FCTC. Ini adalah suatu instrumen strategi kesehatan masyarakat global untuk mendukung negara-negara anggota dalam mengembangkan program pengendalian tembakau di tingkat nasional.

Kerangka kerja tersebut diadopsi oleh seluruh negara anggota WHO (192 negara) dalam sidang WHA (World Health Assembly) pada Mei 2003. Kesepakatan ini terjadi setelah negara-negara anggota WHO melakukan perundingan selama beberapa tahun.

Baca Juga:  Merokok Bersama Dalam Sebuah Demonstrasi

Sementara di Indonesia, upaya pengendalian konsumsi rokok atas nama kesehatan hadir dalam berbagai peraturan. Baik di tingkat nasional maupun peraturan-peraturan daerah. Di antaranya Perda yang mengatur tentang KTR, tak luput pula pemerintah menjadikan cukai sebagai instrumen pengendalian.

Kenaikan tarif cukai tiap tahun telah membawa konsekuensi yang serius terhadap sektor IHT dalam negeri. Alih-alih ingin menekan angka perokok justru memicu peningkatan kerugian negara dari maraknya peredaran rokok ilegal.

Dalam upaya mengentaskan persoalan rokok ilegal itulah, pemerintah terus berupaya menghadirkan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) yang diharapkan dapat menghimpun para pelaku usaha rokok yang belum mampu berbisnis secara legal.

Seperti halnya yang sudah lebih dulu dihadirkan di Kudus, pada beberapa daerah lain tengah diupayakan membangun KIHT serupa. Pihak Bea Cukai juga memang tengah gencar mencipta satu solusi yang dianggap dapat menjawab persoalan rokok ilegal. Upaya ini merupakan bagian dari mitigasi yang telah telah dipersiapkan pemerintah dalam menekan dampak atas hantaman regulasi cukai.

Pemerintah tentu tak memungkiri, bahwa pendapatan cukai dari sektor IHT masih menjadi sumber andalan tiap tahunnya. Di satu sisi, negara terus menggenjot cukai dengan dalih pengendalian, di sisi lain negara masih mengharapkan pemasukan dari sektor tembakau. Kok ya pemerintah justru melanggengkan paradoks yang semakin sulit dipahami masyarakat.

Baca Juga:  Mengapa Kenaikan Tarif Cukai Mengancam Buruh?

Sebetulnya nih, ada cara yang sangat jitu, jika memang kepentingan pengedalian tembakau didasari untuk mengangkat derajat kesehatan masyarakat, tanpa harus berulang bikin regulasi yang kemudian direvisi. Bikin boros anggaran.

Mending langsung saja tutup semua pabrik rokok. Habis perkara. Namun, dalam upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi ya jelas pemerintah perlu menyelamatkan muka, tak heran jika sektor KIHT terus dibangun, di tengah bertumbangannya sejumlah pabrikan rokok lain yang terpukul akibat regulasi cukai. Jadi, logika mitigasi yang dimaksud pemerintah ini sebetulnya berpihak pada kepentingan apa?

 

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah