Search
Petani tembakau

Petani Tembakau dan Kebijaksanaan Pemkab Gresik

Petani tembakau sebagai penyedia bahan baku rokok kerap kali menghadapi beragam persoalan. Sehingga sulit untuk mendapatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini di antaranya disebabkan oleh kendala yang bersumber dari buruknya sistem tata niaga, sistem yang tak dikelola dengan baik oleh para pemangku kepentingan.

Padahal, jika ditilik pada aspek pendapatan negara dari cukai rokok, terhitung lebih dari puluhan triliun rupiah tiap tahun masuk kas negara. Pada konteks ini, ada kondisi yang memang membuat petani selalu saja terhimpit. Pemerintah tentunya yang perlu memberi perhatian menyeluruh dalam mencipta sistem yang berpihak.

Misalnya dalam perkara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), dalam Permenkeu Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBH CHT, pemerintah menetapkan sebesar 50 persen dari DBH CHT akan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat, 25 persen untuk penegakan hukum, dan 25 persen untuk kesehatan masayarakat.

Dalam praktiknya, dari angka 50 persen itu masih harus mengikuti skema penghitungan lebih lanjut berdasar beleid yang berlaku. Untuk itu, pemerintah daerah yang mendapatkan dana bagi hasil dari CHT ini perlu betul-betul mengelolanya dengan tepat dan terarah.

Baca Juga:  Kontroversi Logika Anti Rokok Menyoal Sumbangsih Perokok Pada BPJS Kesehatan

Salah satu upaya yang dilakukan Dinas Pertanian Pemkab Gresik misalnya, yang tengah mengoptimalkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk memperkuat struktur bisnis petani tembakau.

Ada dua hal utama yang dilakukan, yakni dengan memperkenalkan sistem kemitraan dan asosiasi. Asosiasi ini suatu kelembagaan yang membantu mengorganisasikan program-program yang sinergis untuk memudahkan petani dalam mendapat keuntungan yang semestinya. Sehingga dapat lebih terarah dalam mewujudkan pengembangan serta kesejahteraan bersama.

Sementara sistem kemitraan yang dimaksud, dapat mempermudah petani mengakses pasar tanpa diusik oleh para pelaku yang bermain di rantai penjualan. Sebagaimana kita ketahui, persoalan yang kerap dihadapi petani sebagian besar terjebak pada permainan harga tengkulak. Sehingga, tidak semua panen tembakau mereka terserap.

Dengan pola kemitraan, petani dapat terhindar dari perilaku orang-orang yang kerap memanfaatkan situasi pasar yang tidak menentu. Melalui sistem kemitraan ini, petani menjadi lebih mudah menjual tembakaunya langsung ke gudang dan mendapatkan pembayaran tunai.

Otomatis, hal ini akan memberi jaminan dan keuntungan bagi petani kemitraan. Bermanfaat langsung dalam memutus mata rantai penjualan yang selama ini bermain timbangan. Melalui sistem kemitraan itu pula, Dinas Pertanian Pemkab Gresik menjamin hasil yang lebih fair, baik dari aspek timbangan serta transparansi.

Baca Juga:  Tembok Tebal di Antara Nalar Publik dan Fakta Ilmiah Menyoal Rokok

Kemitraan juga mengenalkan beberapa program yang mendukung progresifitas petani serta lebih efesien dan efektif. Adapun program kemitraan yang bisa dijalin petani tembakau dengan mitra di antaranya  pola inti plasma, pola dagang umum, pola kemitraan sub kontrak, pola kemitraan keagenan, Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) dan pola kemitraan contract farming.

Optimalisasi dana DBH CHT yang disinergikan melalui banchmarking ke kelompok tani dari Kabupaten Jombang. Upaya ini menjadi salah satu bentuk kebijaksanaan Pemkab Gresik yang patut diapresiasi tentunya dalam mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat petani tembakau.