Press ESC to close

Potensi Kerugian Negara Akibat Kebijakan Harga Rokok

Kerugian negara akibat kebijakan cukai bukanlah isapan jempol belaka. Di antaranya soal kenaikan tarif cukai tiap tahun yang mengerek naik semua harga rokok. Kenaikan tarif pada tahun 2020 saja sudah menimbulkan potensial loss mencapai Rp 4,38 triliun.

Berdasar hasil survei indodata, sebanyak 28,12% perokok di Indonesia pernah atau sedang mengonsumsi rokok ilegal. Kemunculan rokok ilegal ini merupakan akses dari kenaikan harga-harga rokok di pasaran.

Kenapa rokok ilegal ini demikian eksis dan terus meningkat? Iya lantaran ada pasarnya. Tidak bisa dianggap kecil. Jika pemerintah tidak bijak dalam menyikapi persoalan cukai rokok. Iya makin menghantam keberadaan rokok resmi sebagai sumber devisa. Tak terbantahkan, dalam kurun 10 tahun terakhir kebijakan cukai memang mengerikan.

Ditengarai ketika harga-harga rokok terus naik berdampak langsung pada menurunnya daya beli konsumen terhadap rokok bercukai. Perokok bukan berarti berhenti merokok ketika mereka tak mampu membeli merek biasanya. Tidak sedikit dari mereka yang beralih merek alias turun kasta, atau bahkan membeli rokok non cukai.

Ini yang sejatinya menjadi bumerang bagi pemerintah. Di satu sisi, cukai digenjot untuk mengejar target penerimaan, selain pula cukai dijadikan sebagai instrumen pengendalian. Namun, kerugian negara akibat kebijakan yang tak bijak itu terus menjadi mimpi buruk bagi pemerintah.

Baca Juga:  Asap Rokok Diperangi, Asap Pabrik dan Kendaraan Diabaikan

Pada akhir September lalu, Menkeu mengabarkan bahwa kerugian yang harus ditanggung negara mencapai Rpc13,48 triliun. Angka tersebut dihitung berdasarkan kebocoran dalam bentuk barang hasil penindakan. Angka puluhan triliun ini tentu bukan angka yang kecil.

Sementara, berdasar temuan survey Indodata, potential loss berdasar persentase peningkatan konsumsi rokok ilegal di level 28,12% jika dikonversikan mencapai Rp 53,18 triliun. Survei ini dilakukan pada periode Juli—Agustus 2020.

Metode yang digunakan kombinasi yaitu survei di lapangan untuk mengetahui opini publik, menghitung perilaku masyarakat dari konsumsi merokok, lalu menghitung produksi rokok. Hasil temuan ini menjadi penting sebagai sinyal bagi pemerintah untuk tidak sembarangan dalam hal regulasi cukai.

Angka puluhan triliun itu terhitung sangat besar pada saat negara sedang membutuhkan pemasukan di tengah kondisi ekonomi yang sulit akibat pandemi. Konteks pengendalian konsumsi yang didasarkan untuk menaikkan cukai rokok ini tak pernah berbanding lurus dengan faktanya. Perokok hanya mengubah perilaku konsumsi saja. Perokok memang dikenal memiliki daya elastis untuk tetap bisa merokok.

Baca Juga:  Cukai Naik, Industri Mati, Lalu Negara Dapat Apa?

Namun, dalam konteks kebijakan cukai ini mestinya pemerintah berhitung jeli akan dampaknya terhadap rantai IHT. Pastinya yang terpukul di sektor hulu sebagai penyedia bahan baku. Pabrikan mengurangi kuota produksi, serapan terhadap bahan baku jelas terdampak.

Penurunan produksi, bagi petani, berarti menurunnya permintaan atas hasil panen mereka. Entah itu petani cengkeh atau tembakau, semuanya sama terdampak dan menderita karena kebijakan cukai. Sudah susah payah mereka menanam, ketika panen malah tidak terserap oleh pabrikan. Nasib buruk ini bukan sekadar takdir, melainkan terjadi karena kebijakan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah