Search
simplifikasi cukai

Prediksi IHT Pasca Kenaikan Cukai 2022

Tak ada yang dapat terhindar dari derita akibat kenaikan cukai di tiap tahun. Regulasi cukai yang dijadikan instrumen pengendalian tak berarti menguntungkan bagi negara juga masayarakat. Terlebih bagi masyarakat yang bergantung hidup dari sektor kretek.

Dalam satu dekade terakhir kenaikan tarif cukai terus terjadi, rata-rata di atas angka 10 persen. Hanya di tahun politik tahun 2019 saja tidak terjadi kenaikan. Pada tahun tersebut kondisi IHT sempat tumbuh dan diproyeksikan membaik. Namun, pasca tahun politik, kenaikan tarif cukai justru demikian eksesif, bahkan kenaikannya berada di atas 20 persen.

Diproyeksikan pada akhir tahun 2021 ini produksi rokok akan mengalami penurunan yang signifikan, antara 10-15 persen. Turunnya angka produksi tahun ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari regulasi cukai yang diberlakukan. Angka penurunan itu masih lebih rendah dari kontraksi tahun 2020, sebesar 30-40 persen.

Memang, berdasar data Ditjen Bea Cukai ada pertumbuhan produksi rokok hingga 4,3 persen hingga September 2021. Namun, hal itu menurut pihak GAPPRI harus dilihat dalam dua konteks. Pertama, kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang diberlakukan mulai Februari 2021 menyebabkan anggota memesan pita cukai lebih tinggi pada Januari 2021.

Kedua, jika pemerintah mengumumkan kenaikan tarif CHT pada bulan ini, yakni November 2021, maka akan kembali terjadi kenaikan pemesanan pita cukai. Sehingga sangat mungkin angkanya lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Lebih lanjut yang menjadi masalah, adalah angka retur barang kena cukai (BKC) pada tahun 2021 mencapai tingkat paling tinggi meski produksinya naik, ujar pihak GAPPRI pada beberapa waktu lalu.

Baca Juga:  Sandiaga Uno yang Asal Omong Soal Zakat dan Cukai

Sebagai sumber devisa yang diandalkan pemerintah, cukai rokok pada titik tertentu, wajar saja naik. Penentuan tarif dan berbagai kebijakan fiskal memang harus mengikuti eskalasi perekonomian seperti inflasi dan lain-lain. Tapi, angka yang dipatok harus tetap rasional.

Di tengah kondisi pandemi serta situasi pelemahan daya beli ini, kondisi IHT belum bisa dikatakan stabil. Mestinya, janganlah dibebani oleh kenaikan tarif yang memberatkan di tahun 2022 nanti. Paling tidak untuk sektor SKT yang merupakan sektor padat karya. Ini yang paling penting menjadi perhatian pemerintah.

Sebagaimana kita ketahui, dampak dari kenaikan cukai yang eksesif tahun lalu, paling kurang sejumlah 5000 pekerja terpaksa mengalami PHK di tiap tahun. Ini kondisi yang terjadi di Jawa Timur berdasar data FSP RTMM lembaga yang menaungi lebih dari 243 ribu tenaga kerja dari sektor rokok, tembakau, makanan dan minuman.

Bayangkan, jika merujuk target penerimaan cukai yang ada di RAPBN 2022 naik 11,9% menjadi Rp 203,92 triliun. Jelas ini angka yang tidak kecil pertumbuhannya, pastinya memberatkan industri kretek secara keseluruhan.

Negara memang lagi butuh duit untuk menambal pengeluaran akibat Covid-19, tapi jangan kemudian kretek yang dijadikan sapi perah dong. Memangnya keringat yang keluar itu melulu buat negara gitu, hih. Selain itu pasca kenaikan cukai 2022 diprediksi bakal berbuntut anjloknya harga jual tembakau, akibat panen yang tidak optimal.

Baca Juga:  Bagaimana Nasib Perokok Yang Tidak Wajib Berpuasa?

Seperti yang sudah-sudah, kenaikan cukai ini akan berdampak pada serapan bahan baku dari petani. Artinya, bukan hanya petani tembakau, dalam konteks industri rokok dalam negeri yakni kretek, sektor cengkeh pun akan terkena dampaknya.

Pada kondisi yang begitu menekan itu, pabrikan terpaksa harus mengambil langkah efesiensi, jika tidak ingin menyusul nasib pabrik yang mati akibat tak kuat menanggung beban produksi. Otomatis, naiknya cukai membuat pabrikan harus menurunkan kuota produksi. Selain itu, angka pengangguran akan semakin bertambah akibat banyaknya buruh rokok yang dirumahkan.

Kondisi IHT jelas akan semakin terseok-seok di tengah iklim usaha yang belum stabil ini. Ditambah lagi, konsekuensi dari naiknya cukai yang kerap dibarengi dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal. Kondisi yang jelas kontraproduktif bagi pemasukan negara. Pemerintah mesti lebih peka dalam menangkap persoalan itu semua, jika tidak ingin terjadi instabilitas yang lebih meluas.