Press ESC to close

Saat Eksekutif dan Legislatif Ikut Kritis Soal Tarif Cukai

Tarif cukai untuk 2022 akan ditetapkan kenaikannya dalam waktu dekat. Kenaikan tarif ini akan berlaku ke semua produk hasil tembakau. Rencana pemerintah ini sejatinya sudah menuai banyak penolakan. Tidak hanya dari para pemangku kepentingan di Industri Hasil tembakau, kali ini Anggota Badan Anggaran DPR RI mengkritisi pula kebijakan pemerintah terkait CHT.

Mengingat kondisi ekonomi masyarakat pada masa pandemi ini tengah diusahakan untuk kembali pulih. Sebagaimana kita tahu, banyak sektor usaha yang lumpuh lantaran pemerintah berlarut-larut dalam upaya penanganan pandemi. Ini satu hal yang sangat penting menjadi pertimbangan dalam hal pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan sumber ekonomi orang banyak.

Kondisi ekonomi negara memang tidak sedang baik-baik saja, beberapa waktu lalu Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah sampai akhir September 2021 sebesar Rp 6.711,52 triliun. Tingginya utang negara diakibatkan adanya defisit APBN yang perlu disiasati. Sudah bisa dipastikan, pemerintah menyasar sumber-sumber pemasukan andalan, iya di antaranya melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Dalam konteks ini, anggota Banggar DPR RI mengharapkan kepada pemerintah untuk berpikir lebih cermat dalam penetapan cukai. Artinya, pemerintah jangan sampai hanya mengejar target pendapatan tanpa memperhitungkan dampaknya. Terutama bagi masayarakat yang hidup dari sektor pertembakauan.

Sebagai catatan, target penerimaan cukai yang ada di RAPBN 2022 naik 11,9% menjadi Rp 203,92 triliun. Besaran angka yang ditargetkan ini jelas tidak kecil pertumbuhannya, pastinya memberatkan industri hasil tembakau secara keseluruhan.

Baca Juga:  Merokok Ingin Mati, Sudah Merokok Tak Mati-Mati

Kenaikan tarif cukai yang terus eksesif tiap tahun, bahkan pada dua tahun terakhir saja sudah sangat memukul. Berada di atas 20 persen, ini saja telah mengakibatkan penurunan produksi. Diprediksi pada akhir tahun 2021 bakal terjadi penurunan produksi antara 10-15 persen.

Akibat kenaikan cukai yang eksesif ini, tidak sedikit pabrikan yang mengeluhkan beratnya beban produksi hingga harus mengambil langkah efesiensi. Mulai dari menurunkan kuota bahan baku sampai pada pengurangan jumlah pekerja. Di Jawa Timur sendiri sudah ada sekitar 5000 pekerja IHT mengalami PHK tiap tahunnya.

Kondisi miris semacam ini pula yang dicermati oleh Mukhtarudin, bahwa seharusnya kenaikan tarif cukai tahun 2022 tidak eksesif seperti dua tahun terakhir. Justru harusnya pemerintah membantu menstimulus sektor IHT yang telah mampu menyerap banyak tenaga kerja. Di antaranya dari sektor Sigaret Kretek Tangan.

Pemerintah harus mengambil langkah moderat yang disesuaikan dengan inflasi, artinya, jangan sampai sembarangan alih-alih pengendalian justru berakibat fatal pada peningkatan angka pengangguran. Serta terpukulnya ekonomi masyarakat.

Dalam konteks yang sama, Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo, menyatakan pula bahwa pemerintah harus berhati-hati mengambil langkah kebijakan cukai ini. Jangan sampai mengesampingkan dampaknya bagi masayakat kecil, baik petani dan buruh yang bergantung hidup dari sektor Industri Hasil Tembakau.

Baca Juga:  Ketika Negara Akui Dampak Kenaikan Tarif Cukai

Edy Sutopo menjelaskan pula betapa sering dirinya mendapatkan keluhan dari stakeholder pertembakauan, terkait kondisi yang terjadi akibat regulasi cukai yang teramat berdampak pada roda perekonomian mereka. Artinya, dalam perumusan kebijakan cukai, pemrintah harus mempertimbang kondisi yang dialami masyarakat saat ini.

Seperti yang sudah-sudah, setiap kali cukai mengalami kenaikan yang berakibat pada naiknya harga-harga rokok, membuat daya beli masyarakat terhadap rokok bercukai ini menurun. Dalam kondisi yang demikian, para perokok banyak yang beralih membeli rokok non cukai.

Maraknya peredaran rokok non cukai ini tentu merugikan negara, maka dalam perkara kenaikan cukai untuk tahun 2022 harus diperhitungkan betul dengan matang oleh pemerintah. Sebab faktanya, ketika cukai dijadikan sebagai instrumen pengendalian, justru itu tidak berbanding lurus membuat angka perokok menurun, perokok tetap bisa merokok. Namun yang pasti, negara akan menanggung kerugian akibat maraknya rokok ilegal.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah