Press ESC to close

Nasib Perokok: Dilabel Penyakitan Hingga Beban Negara

Menyebalkan memang menjadi masyarakat yang mendapat label pesakitan atas dasar konsumsi rokok. Hal ini tersampaikan melalui penyataan Sri Mulyani akan konsumsi rokok masyarakat yang telah menghabiskan anggaran BPJS Kesehatan sebesar Rp 15 triliun. Dari sini muncul pernyataan bahwa perokok beban negara.

Tak ada habisnya perokok yang setiap tahunnya memberi devisa bagi negara ratusan triliun rupiah. Sepanjang kuartal I/2021, realisasi penerimaan cukai Rp 49,56 triliun atau 27,54 persen dari targetnya. Sedangkan CHT Rp 48,22 triliun atau 27,75 persen dari target. Adapun target penerimaan cukai rokok pada 2021 sebesar Rp 173,78 triliun. Angka ini naik 5,35% dari target 2020 sebesar Rp 164,94 triliun.

Kemudian untuk tahun 2022 pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok mencapai Rp193 triliun. Dengan hitungan kenaikan rata-rata 12 persen. Angka tersebut sekitar 10 persen total penerimaan negara. Angka kenaikan yang tidak bisa dikatakan kecil tentunya. Artinya, perokok menyumbang 10% pada APBN.

Konyolnya di sini, dari penerimaan yang disumbangkan perokok tersebut, rokok disebut-sebut sebagai sumber dari segala penyakit sehingga harus ditanggung pemerintah, sementara setiap tahunnya 50 persen dari CHT dialokasikan jelas-jelas untuk Jaminan Kesehatan Nasional.

Baca Juga:  Gudang Garam dan Mimpi Kediri Untuk Memiliki Bandara

Di sini yang kadang membingungkan masyarakat, rokok yang nyata-nyata cukainya diterima sebagai devisa, bahkan turut membantu menambal defisit BPJS, menjadi tiang pemulihan ekonomi nasional, serta menjadi lapangan pekerjaan jutaan buruh. Kok ya masih juga konsumen rokok disebut menjadi bagi dari beban negara.

Mestinya, dalam konteks ini pemerintah meniliki lebih dalam apa yang terjadi pada sistem BPJS sehingga mengalami defisit. Burruknya manajemen pada sistem BPJS sangat mungkin menjadi penyebab persoalan defisit.

Kita tengah menghadapi satu kondisi yang memang menyebalkan. Produk legal berupa rokok yang selama ini kita konsumsi, dicap sebagai penyebab merosotnya produktifitas masyarakat. Dicap sebagai biang kerok segala penyakit mengerikan. Ditambah lagi dikait-kaitkan pada isu stunting dan prevalensi perokok anak. Payah betul pemerintah ini.

Sudahlah memanfaatkan dana dari konsumen rokok, masih pula secara implisit perokok disebut sebagai beban negara. Cukai yang selama ini dijadikan sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok makin digdaya saja mengukuhkan mitos kesehatan. Sementara, jika ditilik lebih dalam atas segala dampak yang ditimbulkan, masih terbilang kontroversi.

Baca Juga:  Benarkah Para Perokok Tidak Percaya Dokter?

Sementara, pasca ketetapan kenaikan cukai rokok 2022, kita akan melihat serangkaian dampak ekonomi bagi masyarakat yang bergantung dari produk tembakau. Diprediksi bakal banyak pabrikan rokok yang terpaksa tutup akibat tak mampu menanggung beban produksi. Belum lagi dampaknya terhadap daya beli, tak dipungkiri, ketika harga-harga rokok naik para perokok niscaya beralih ke produk yang lebih terjangkau.

Meskipun tarif cukai dibikin naik tinggi sebagai solusi menekan konsumsi rokok. Tetap saja penerimaan dari cukai rokok masih menjadi andalan negara. Artinya, pemerintah sebagai pengelola sistem bernegara masih berharap dari masyarakat yang selama ini dilabeli sebagai pesakitan dan membebani anggaran.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah