Press ESC to close

Penutupan Display Rokok Masih Terus Terjadi

Semenjak keluarnya Seruan Gubernur DKI tentang larangan display rokok telah menimbulkan kegaduhan dan penolakan dari berbagai pihak seperti para pedagang, pelaku usaha ritel, konsumen, dan segenap stakeholder pertembakauan lainnya. Dikarenakan seruan tersebut tak jelas arahnya dan melanggar perundang-undangan yang telah ada.

Surat keberatan pun sudah dilayangkan kepada pihak Pemda DKI yang diwakili beberapa aktivis pertembakauan, praktisi hukum, hingga perwakilan dari ritel. Point-point keberatan terhadap Seruan Gubernur DKI sebetulnya sudah disampaikan lewat pertemuan secara online. Namun, jika melihat bahwa tindakan penutupan display rokok masih terus terjadi, maka tak salah kalau menyebut bahwa ‘pemerintah tutup kuping’.

Sepanjang bulan September 2021, sudah terjadi sebanyak 486 tindakan pencabutan reklame dan penutupan display rokok terhadap usaha ritel maupun warung kelontong yang terjadi pada 293 titik lokasi di daerah Jakarta. Hal tersebut menimbulkan reaksi dari perwakilan pengusaha ritel dan juga para pedagang warung tradisional.

Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Yongky Susilo menilai bahwa adanya aturan tentang penutupan display rokok hanya akan semakin memberatkan para pelaku usaha ritel. “Jika diminta untuk membuat tempat tertutup lagi, tentu akan membebani pelaku usaha,” ujarnya.

Baca Juga:  Puntung Rokok Jemaah Haji Kerap Dihimbau Otoritas

Perlu di ingat bahwa sampai saat ini para pelaku usaha ritel jadi yang paling taat terhadap aturan penjualan rokok. Mereka hanya akan melayani pembelian rokok kepada orang-orang yang usianya sudah 18 tahun keatas. Sepanjang sejarah saya berbelanja di ritel, tak pernah ada tawaran untuk membeli rokok. Peletakan rak rokok di belakang kasir pun rasanya sudah tepat karena sulit dijangkau oleh anak-anak. Jadi, tak perlu ada penutupan dengan tirai segala.

Para pedagang warung tradisional juga  menyayangkan tindakan dari Satpol PP yang mencabut reklame iklan rokok di warungnya. Sebab, dari pemasangan reklame iklan rokok itu para pedagang bisa mendapatkan potongan harga. Jika reklame iklan tersebut di copot, dan kemudian dilarang lagi pemasangannya, artinya itu merugikan para pedagang.

Seharusnya dilakukan evaluasi kembali terhadap Seruan Gubernur tentang larangan memajang rokok di tempat penjualan, mengingat banyaknya reaksi penolakan yang terjadi di sektor-sektor penting industri. Jangan terkesan seperti ‘tutup kuping’.

Fahrizal Afdillah

Fahrizal Afdillah

Perokok setia