Press ESC to close

Bantuan Sosial dari Uang Rokok

Uang rokok secara konotasi umum merupakan bentuk pemberian yang bersifat bonus atas kegiatan atau jasa tertentu. Bagi sebagian besar masyarakat, istilah semacam bonus itu tentu disambut positif, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit. Namun, bagi masyarakat antirokok, istilah tersebut kerap dianggap negatif.

Namanya saja sudah anti, apapun yang berkonotasi dengan produk tembakau kerap saja dicap berbahaya dan merugikan. Bahkan, disertai asumsi membunuh, bikin malas, tidak produktif, dan segudang asumsi jelek lainnya. Makhluk yang bernama antirokok sampai kapanpun ya logikanya selalu kontra terhadap komoditas strategis tembakau.

Dalam skema industri ada pungutan yang diambil dari produk rokok, disebut sebagai cukai rokok. Kemudian, diatur dalam bentuk DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau). Dari hulu sampai hilir semua pihak yang terlibat dalam industri ini turut andil menyumbang hasil cukai yang bermuara pada kas negara.

Kontribusi di hilir melalui konsumen rokok, jelas tak terbantahkan dalam mencipta makna pungutan cukai ini menjadi dana segar yang diterima negara tiap tahunnya. Skema pembagian DBHCHT secara pemanfaatannya telah diatur oleh regulasi, harus kembali ke stakeholder industri rokok. Iya petani, pabrikan, buruh, pemberantasan rokok ilegal, kesehatan dan sosial.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Pemkab Nganjuk pada akhir tahun lalu. Ada sebanyak 531 buruh pabrik rokok yang mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) sesuai dengan pendataan yang telah diperbarui. BLT sebesar Rp 600.000 untuk setiap buruh tersebut sengaja dilakukan pemkab untuk perekonomian para buruh pabrik rokok yang juga terdampak pandemi Covid-19.

Baca Juga:  Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Merokok Oleh Lembaga Akademis

Hal serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal, Jateng. Sebanyak 123 buruh pabrik rokok di Kota Tegal menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Tahun 2021. Setiap Buruh menerima bantuan sebesar Rp.300.000,- yang akan diberikan selama tiga bulan yakni Bulan Oktober – Desember 2021.

Perihal pemanfaatan DBHCHT ini juga pada tahun 2021 lalu dilakukan di beberapa daerah lainnya. Seperti di daerah penghasil tembakau, sebut saja di antaranya Gresik dan Majalengka. Dana dari CHT itu oleh pemerintah setempat digunakan untuk menunjang fasilitas kesehatan masyarakat, pembekanjaan Alkes rumah sakit. Serta kegiatan pendampingan petani demi mendorong peningkatan panen tembakau yang lebih baik.

Tak ketinggalan di kota berjuluk Kota Kretek, Kudus, Jawa Tengah. Pemberian dana bagi hasil CHT yang kerap pula diasosiasikan sebagai uang rokok, dimanfaatkan untuk memberi pembekalan keterampilan kepada para buruh pabrik rokok serta keluarganya.

Lain halnya dengan yang diwujudkan di Sulawesi, dalam kerangka menekan peredaran rokok ilegal. Para pelaku usaha dihimpun untuk memiliki kesadaran akan pentingnya cukai sebagai pemasukan negara. Sebagai solusinya, di sana dibangun kawasan industri rokok terpadu, untuk mencipta iklim usaha yang baik.

Baca Juga:  Vape Lebih Aman Dari Rokok, Yakin?

Dari kesemua itu, konotasi ‘uang rokok’ ya memang bukan berarti negatif jika dilekatkan pemaknaannya dengan DBHCHT. Dana hasil cukai yang didapat dari industri rokok yang kemudian turut dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat. Termasuk halnya dalam konteks pengentasan virus covid-19 pada beberapa waktu lalu.

Hal penting semacam inilah yang patut diapresiasi dari keberadaan industri rokok, dengan seluruh mata rantainya, yang dari hulu ke hilir bergiat memberi kontribusi bagi pemasukan negara. Lalu, menyangkut kontribusi antirokok apa dong? Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia juga, tidak tertutup bagi mereka untuk turut merasakan manfaat DBHCHT melalui fasilitas kesehatan yang beberapa dialokasikan ke sektor kesehatan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah