Press ESC to close

Cukai Naik, Petani Tembakau Tercekik

Selain konsumen rokok yang terimbas kenaikan tarif cukai tiap tahun tentu saja dialami juga oleh petani tembakau. Petani adalah pihak utama dalam penyediaan bahan baku rokok. Perkara penyediaan bahan baku di sektor strategis ini tak semata-mata menyangkut budi daya tanamnya. Ada sekian persoalan lain yang itu berkaitan dengan penjualan.

Tak banyak masyarakat yang tahu bagaimana sistem penjualan tembakau yang berasal dari hulu industri rokok di Indonesia. Satu yang tak bisa dilepaskan perannya adalah pabrikan sebagai pihak produsen sekaligus pembeli bahan baku dari petani. Di tiap panen, para petani tentu memiliki harapan tembakaunya dapat semua terjual.

Tidak hanya soal terserapnya seluruh hasil panen, petani juga mengharapkan harga jual tembakau yang ditentukan pabrikan dapat menggembirakan mereka, memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari dan untuk dapat terus berproduksi. 

Namun, sejak regulasi cukai tahun 2016 yang begitu eksesif di atas 10 persen kenaikannya sebagai salah satu bagian dari agenda pengendalian konsumsi rokok, harga jual tembakau mengalami penurunan yang signifikan. Terlebih lagi pada tahun 2022 ini yang sangat dimungkinkan akan jauh lebih berdampak pada penurunan permintaan bahan baku. 

Kualitas panen tembakau serta kondisi musim yang tak menentu juga menjadi penyebab terjadinya kondisi buruk yang dialami petani. Terpenting lagi, soal daya beli pabrikan terhadap jenis tembakau yang menjadi bahan baku brand mereka. 

Sebagai pengingat, dari sebatang rokok yang kita isap, ada lebih dari tiga jenis tembakau yang merupakan bahan baku utama. Belum lagi ditambah unsur rempah utama pada produk kretek, yakni cengkeh.

Baca Juga:  Ibu Hamil Memang Semestinya Tidak Merokok

Secara umum, pada rokok terdapat jenis tembakau yang kerap dipakai untuk bahan baku rokok dalam negeri. Jenis tembakau Na’oogst (BNO) dan tembakau Vor oogst (VO). Dua jenis tembakau inilah yang umum digunakan sebagai bahan baku. Selain pula ada jenis tembakau lauk yang berdasar piramida kebutuhan bahan baku terbilang mahal harganya.

Eksesifnya kenaikan cukai kurun 5 tahun terakhir, tentu membuat pabrikan menanggung beban produksi yang sangat berat, dan dengan terpaksa harus melakukan berbagai siasat efesiensi bahan baku seturut penyesuaian pasarnya pula. Pembatasan kuota produksi tentu berakibat terhadap menurunnya permintaan tembakau dari petani.

Contoh sederhana seperti yang dialami para petani tembakau kasturi (VO) di Jember. Jika dulu bisa produksi dari 750 Kg sampai 1,75 ton, saban kenaikan cukai terjadi, tembakau produksi mereka tak semua dibeli pabrikan. Daerah Jember Utara adalah salah satu daerah yang memilki lahan produktif untuk tembakau Kasturi. Namun, sejak kenaikan cukai pasca tahun politik 2019 yang mencapai 23%, membuat semakin menyusut lahan produksi tembakau di Jember.

Tembakau Vor oogst atau Kasturi ini tidak dirajang tapi daunnya ditusuk dengan sujen yang dibuat dari bambu sebanyak 4-5 daun yang kemudian diperam kurang lebih 2 hari untuk pelayuan baru kemudian dijemur di sinar matahari kurang lebih 5 hari atau lebih tergantung kondisi sinar matahari sampai daun tembakau kering dan menghasilkan warna yang terang. 

Baca Juga:  Rokok Penyebab Pasti dari Statistik Kebakaran di Jakarta?

Tembakau Kasturi ini merupakan tembakau krosok yang biasa digunakan untuk campuran produk kretek karena memiliki rasa yang gurih dan  aroma yang kuat dan berkadar nikotin tinggi. Namun, sejak terbitnya regulasi pengendalian tembakau PP 109/2012, yang di dalamnya turut mengatur kadar nikotin pada bahan baku rokok turut mempengaruhi komposisi produk rokok dalam negeri.

Produksi rokok dengan kandungan nikotin rendah lebih masif terserap. Dalam hal ini pasar tembakau impor dengan kadar low nicotine mendapatkan konteksnya. Ini pula salah satu faktor yang membuat pasar tembakau lokal terpukul oleh berubahnya kondisi yang merupakan efek dari regulasi. Untuk itu, pemerintah harus mampu menciptakan regulasi yang berpihak terhadap kesejahteraan stakeholder

Celakanya, upaya keberpihakan itu tidak menjadi prioritas pemerintah. Pemerintah lebih menekankan pada target pengendalian tembakau, sehingga cukai terus saja dibuat naik dan naik dan membuat petani semakin terhimpit. 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah