Press ESC to close

Inikah Saat Yang Tepat Untuk Berhenti Merokok?

Terpujilah pemerintah yang tiap tahun telah menaikkan tarif cukai rokok agar masyarakat memilih berhenti merokok. Tahu sendiri kan ya, ketika harga rokok naik otomatis turut mengerek pula inflasi harga-harga kebutuhan lainnya. Mau tak mau, rokok sebagai sarana relaksasi pun semakin tersisih. Daya beli perokok menurun.

Yaiya dong, cuaca ekonomi lagi lesu begini dipukul pandemi, daripada membeli rokok tentu lebih prioritas membeli beras, telur, minyak goreng, pokoknya yang pokok-pokok dulu lah. Mengisap rokok kita stop dulu. Apalagi saat berolahraga, baik olah raga malam maupun olah raga pagi. Stop dulu ngebulnya.

Tidak keliru juga, jika kita mengapresiasi itikad baik pemerintah berikut kerja keras antirokok dengan agenda politiknya menekan angka perokok, sampai-sampai desakan wacana simplifikasi cukai pun diamini pemerintah loh. Sekali lagi, tidak ada kelirunya jika kita mengapresiasi pihak-pihak yang telah bekerja hebat dalam mengondisikan citra buruk rokok.

Menurut data BPS, jumlah perokok usia 15 tahun ke atas turun 29,03% pada 2020 loh. Selain isu daya beli, alasan kesehatan di tengah pandemi juga membuat banyak orang memutuskan berhenti sebats. Beberapa yang masih merokok memutuskan untuk mengurangi konsumsinya. Data yang menggembirakan dong buat pengusung agenda pengendalian tembakau.

Baca Juga:  Semua Pasal terkait Tembakau di Draf RPP Kesehatan Berbahaya, Ini Faktanya!

Artinya, begitu ampuh jurus pemerintah serta kerja politik antirokok dalam menekan konsumsi melalui instrumen cukai. Perkara nasib IHT tambah bengek, terseok-seok, tak kuat memikul beban produksi yang semakin berat, maka, jawaban “itu bukan urusan saya” mendapatkan konteksnya di sini.

Selanjutnya, hasil survei Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 26 Agustus lalu menyebutkan pula, dari 1.082 responden terdapat 29% perokok aktif. Dari angka itu, sebanyak 37% mengaku mulai mengurangi konsumsinya.

Dari sisi pengeluaran, 42% telah mengurangi biaya untuk merokok. Lalu, sebanyak 24% memilih membeli rokok dengan harga murah. Realita ini pun dibarengi dengan bertumbangannya pabrikan rokok level gurem.

Meningkatnya angka pengangguran yang disumbang dari kematian pabrik rokok akibat hantaman kenaikan cukai di atas 10 persen sejak 2016, menjadi sinyal bagi pemerintah untuk bersiap sepenuh daya menanggung risiko terburuk, yakni kehilangan devisa dan krisis yang lebih kompleks lagi.

Tahu sendiri lah ya, sejak harga rokok terus naik, tidak sedikit perokok yang berubah pola konsumsinya. Mulai dari mengurangi rokok teman, mengantongi rokok dari gelas kenduri, adapula yang membeli secara ketengan, tak jarang juga yang beralih mengonsumsi rokok tanpa cukai.

Baca Juga:  Pentingnya Edukasi Soal Rokok Pada Anak-anak

Artinya, perubahan pola di masyarakat perokok menjadi isyarat yang sebangun dengan semangat pemerintah dalam menekan angka penyumbang devisa dong. Termasuk mengonsumsi tembakau liting yang biasa disebut tingwe. Setidaknya, pilihan itu membantu mengurangi beban panen petani yang tak terserap pabrikan.

Berhenti mengonsumsi rokok bukan berarti stop mengakses tembakau sebagai anugerah alam Indonesia. Jelas dong, bangsa berdikari loh kita ini, terbukti memiliki etos kreatif dan daya adaptif yang super.

Meski banyak sektor usaha terpukul akibat pandemi, harga rokok semakin dibuat mahal, beban ekonomi bertambah oleh naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Kita masih mampu bertindak kreatif. Maka, inilah saat yang tepat untuk berhenti merokok dulu, agar idiom perokok beban negara tak lagi dialamatkan ke kita. Maka tepat sudah, hanya satu kata: TINGWE!

Muhammad Yunus

Mahasiswa UIN Jakarta doyan ngisap Rokok