Tarif cukai rokok tiap tahun terus dinaikkan sebagai instrumen pengendalian atas konsumsi rokok. Argumen pengendalian ini kerap pula direpetisi oleh pemerintah di berbagai media. Bahkan, Menkeu menegaskan konsumen rokok sebagai beban negara. Lucunya, PTPN X sebagai perkebunan milik pemerintah justru berupaya meningkatkan target tanam tembakau.
Agar kita ketahui, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X targetkan luas tanam 600 Ha dengan produksi daun hijau tembakau 10.687,5 Ton. Besaran angka ini tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun 2021, secara persentase target produksi 2022 meningkat 16 persen.
Tembakau, sebagai komoditas perkebunan, sejak dulu sudah dikenal bernilai strategis. Sejak era kolonial perkebunan tembakau menjadi salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah Hindia Belanda. Kualitas tembakau dari tanah Nusantara ini sudah mendapatkan permintaan pasar yang tinggi di Eropa sejak lama. Utamanya untuk memenuhi kebutuhan dasar cerutu.
Sebagai tambahan, unit usaha tembakau PTPN X memproduksi dan mengekspor tembakau cerutu yang terdiri dari Tembakau Na Oogst (Besuki & Vorstenlanden) dan Tembakau Bawah Naungan (TBN) dengan Wilayah kerja yang tersebar di Kabupaten Jember, yakni Kebun Kertosari Kebun Ajong Gayasan, adapun di Kabupaten Klaten yakni Kebun Kebonarum/Gayamprit/Wedhibirit.
Melihat target produksi yang telah ditetapkan PTPN X, kemudian kita sandingkan dengan sikap pemerintah yang demikian eksesif menaikkan tarif CHT (Cukai Hasil Tembakau), sangat kontradiktif sekali. Untuk tarif CHT tahun 2022 ini, tarif cukai rokok rata-rata naik sebesar 12 persen.
Jika dihitung sejak tahun 2016, dampak dari kenaikan cukai rokok tercatat telah memukul banyak pabrikan. Beban produksi yang tinggi membuat pabrikan mengambil siasat efesiensi. Serapan permintaan tembakau dari petani mengalami penurunan, akibat dari pembatasan kuota produksi. Sebagian besar tembakau yang tak terserap dijual secara ecer di pasar.
Pemerintah menyebut kenaikan cukai didasari oleh empat pertimbangan, yakni pengendalian konsumsi, menekan prevalensi perokok di bawah umur, tenaga kerja, pengawasan rokok ilegal. Tak ketinggalan, pemerintah menjadikan komoditas strategis ini sebagai andalan penerimaan cukai.
Sebagaimana kita tahu, target penerimaan CHT yang ditetapkan untuk 2022 hampir mencapai Rp 200 triliun. Tentu ini angka yang jauh lebih tinggi dibanding target tahun sebelumnya. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pemerintah menargetkan penerimaan cukai meningkat 11,92% menjadi Rp 203,92 triliun pada 2022 dari 182,2 triliun pada 2021 (outlook).
Oleh adanya kondisi ini, masyarakat seperti diperolok oleh pemerintah yang selalu bicara soal pengendalian konsumsi rokok di masyarakat. Apalagi kampanye bahaya rokok terhadap kesehatan oleh antirokok demikian masif dibunyikan di berbagai kesempatan. Bahkan, perkara talangan untuk BPJS yang nilainya mencapai Rp 15 triliun disebut-sebut sebagai beban atas penyakit akibat rokok.
Lalu, di sisi lain perkebunan milik pemerintah justru berupaya meningkatkan target produksinya. Ini menimbulkan pertanyaan kritis pastinya di masyarakat. Kenapa ketika bicara soal isu kesehatan selalu saja dikaitkan dengan rokok, bukan pada aspek tata kelola; dalam upaya menjamin kesehatan masyarakat? Kenapa selalu saja rokok dikait-kaitkan sebagai penyebab penyakit-penyakit mengerikan, jika faktanya pemerintah lebih mengejar target penerimaan dari cukai rokok dengan meningkatkan target produksi tanam tembakau?
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024