Search
anak membeli rokok

Tren Prevalensi Perokok Pemula

Isu perokok pemula di Indonesia kerap saja menjadi bantalan dalam agenda pengendalian tembakau. Jika kita cermati, kalangan antirokok dalam berbagai kesempatan menyebutkan bahwa prevalesi perokok baru terus meningkat setiap tahun.

Data yang dikemukakan biasanya diarahkan pada target mereka untuk memukul sektor Industri Hasil Tembakau. Tentu kita ingat, pada medio 2021 di Jakarta, Gubernur DKI melalui seruannya menindak beberapa ritel di Jakarta dengan menutup display rokok.

Aksi menutup display rokok ini digadang-gadang sebagai cara menekan prevalensi perokok anak. Dalilnya, display rokok di area aktivitas ekonomi dianggap bagian dari promosi rokok. Apakah upaya menutup display rokok itu memberi dampak positif? Justru sebaliknya. Langkah itu jelas tidak tepat sasaran.

Perkara isu yang sama juga disebut-sebut di tiap agenda antirokok dalam mendorong wacana revisi PP 109/2012, terkait pelarangan total iklan rokok dan desakan menaikkan tarif cukai setingi-tingginya. Lagi-lagi, dalihnya menyoal angka perokok baru dari golongan remaja dan anak.

Keresahan antirokok terhadap angka prevalensi tersebut acap kali pula dikaitkan dengan target RPJMN pemerintah. Dalih yang sama pun menjadi acuan para pemimpin daerah dalam mengeluarkan Perda KTR, yang justru kita sesalkan pada agenda KTR itu tanpa disertai kesiapan yang mendukung asas keadilan. Sebagian besar hanya ingin mengejar target pencitraan, di antaranya terkait citra kota ramah anak dan seterusnya.

Baca Juga:  Betapa Pentingnya PT Djarum Bagi Pembangunan Kudus

Dalil untuk menekan tren perokok pemula juga menjadi acuan pemerintah dalam menerapkan kebijakan cukai. Sebagaimana kita tahu, cukai rokok oleh pemerintah dijadikan sebagai intrumen pengendali konsumsi. Bahwa harga rokok harus terus dibuat naik agar semakin sulit diakses oleh perokok, terutama konsumen remaja. Intinya, angka prevalensi perokok muda terus saja disebut meningkat dan dijadikan alasan untuk menekan industri rokok.

Namun, jika kita cermati lagi, pada pemberitaan lain. Angka prevalensi perokok muda justru menurun, berdasar data Badan Pusat Statistik tercatat persentase merokok pada penduduk Indonesia usia 16-18 di tahun 2021 sebesar 9,59 persen atau menurun dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 10,07 persen.

Dari gambaran ini dapat disimpulkan adanya ambiguitas kepentingan serta inkonsistensi data antirokok, terkait angka perokok baru yang terus meningkat setiap tahun. Patut dicurigai dari sisi ini tersembunyi kepentingan politis yang ditargetkan.

Iya bukan berarti publik tidak paham, bahwa dari berbagai desakan antirokok dalam mendiskreditkan rokok tak lain demi mencitrakan betapa buruknya produk legal bernama rokok. Isu kesehatan dan isu kesejahteraan masyarakat, hanya dijadikan instrumen demi pencapaian kepentingan lain di balik itu semua.

Baca Juga:  Watak Fasis Antirokok dalam Permintan Pemblokiran Iklan Rokok

Realitanya, data tren perokok pemula mengalami penurunan, sementara dalih klise terkait meningkatnya perokok remaja terus saja direpetisi. Ini membuktikan bahwa gerakan pengendalian tembakau di Indonesia tak ubahnya sebuah produksi sinetron kejar tayang, demi sesuatu yang banal; pencitraan.

Dapat kita tengarai lagi dari pola-pola antirokok dalam kampanyenya, serta desakan isu tertentu yang biasanya disertai data-data versi mereka. Sehingga kemudian mencipta keresahan publik yang seakan-akan produk tembakau ini begitu mengerikan, mengancam masa depan manusia, dan layak dienyahkan dari bumi Indonesia.