Menjadi perokok adalah pilihan manusia dewasa, terlepas apapun jenis profesinya. Pejabat publik sekalipun, tentu boleh merokok. Sebagai warga negara yang menjunjung semangat demokrasi, perihal aktivitas merokok bukan berarti bisa sembarang dilakukan. Mengingat ada aturan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yang telah diatur di dalam PP 109/2012.
Regulasi itu pula yang menjadi payung hukum dari terbitnya sejumlah Peraturan Daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok. Di berbagai daerah di Indonesia, sebagian besar perumusan KTR didasarkan pada semangat untuk membatasi gerak perokok. Bahkan, lebih dalam lagi, pelaksanaan KTR tidak dibarengi dengan upaya mencipta rasa keadilan bagi semua golongan masyarakat.
Terbukti dengan tidak disertai kesiapan akan penyediaan ruang merokok di KTR, pelaksanaan KTR bahkan cenderung mencipta keterbelahan di masyarakat. Penindakan terhadap perokok yang melanggar KTR seakan-akan menjadi salah satu keberhasilan adanya KTR, secara tersirat seperti mempertebal perilaku perokok yang selama ini dicap negatif.
Kota Bogor misalnya, penindakan kepada para pelanggar sampai dikenai sanksi denda. Apalagi, sebagian besar yang terjaring pada razia waktu itu masyarakat umum dari kalangan bawah. Razia yang bersifat dadakan itu seperti ingin menjebak perokok dan menjaring tingkat pelanggaran yang terjadi.
Padahal, jika pelaksanaan KTR sebelumnya sudah dibarengi dengan kesiapan, berupa edukasi dan penyediaan ruang merokok, niscaya tingkat pelanggaran dapat diminimalisir. Perokok akan dengan sendirinya paham. Atau jangan-jangan, salah satu target ‘prestasi’ KTR semacam itu salah satunya untuk menebalkan stigma perilaku pelanggaran dari perokok? Semoga ini keliru belaka.
Belakangan ini, Walikota Depok pada satu sesi kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyampaikan sesat pikirnya dalam memaknai KTR dan perokok. Disebut-sebut, bahwa kebiasaan merokok juga kerap dicontohi oleh pejabat daerah, tentu saja yang dimaksud ya termasuk jajarannya.
Hambatan dari implementasi KTR yang tidak efektif baginya disebabkan oleh adanya perilaku merokok yang dilakukan tokoh publik. Sejatinya, manusia dewasa berhak menentukan pilihan konsumsinya, ini kok malah dideskriditkan oleh orang yang juga mengemban tugas sebagai pelayan masyarakat. Seakan-akan, merokok itu satu tindakan yang hina. Sehingga tidak patut terlihat atau diketahui masyarakat.
Perlu diingat, rokok itu produk legal, bukan golongan Narkoba yang sudah elas produk ilegal, dan peredarannya pun dilarang oleh negara. Kemudian, jika rokok diasosiasikan sama dengan produk ilegal itu, jelas sesat pikir sekali Walikota Depok ini.
Perlu diingat lagi, dalam konteks perdagangan dan promosi produk tembakau, itu juga sudah diatur secara ketat. Bahkan, pungutan tarif cukai pada masing-masing produk rokok yang terdaftar adalah bentuk kontrol yang terukur. Berbeda dengan produk yang telah dinyatakan ilegal yang disebut mengandung unsur psikoterapika. Negara tidak menjamin peredarannya melalui penggunaan cukai.
Lha ini, rokok yang jelas-jelas dikontrol melalui regulasi kok ya aktivitas mengonsumsinya dimaknai sehina itu. Merokok ataupun tidak, bagi siapapun manusianya, sepanjang itu manusia dewasa. Iya sah-sah saja. Merokok bukan perbuatan nista.
Masuk ke soal tidak efektifnya pelaksanaan KTR di Kota Depok, itu tentu kembali pada prinsip dasarnya. Secara asas, semangat KTR bukanlah sebagai upaya mendiskriminasi rokok maupun perokok. Kawasan Tanpa Rokok dibuat untuk menjamin rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat.
Artinya, perokok diatur agar tidak sembarangan merokok di tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR. Kemudian, merujuk pada amanat konstitusi, kawasan dilarang merokok juga harus menjamin ketersediaan ruang merokok di dalam KTR. Tujuan produk hukum itu jelas, bahwa masyarakat yang tidak berkenan dengan asap rokok tidak terpapar asap, dan perokok tetap bisa merokok pada tempat yang telah ditentukan.
Konyolnya, dalam konteks pelaksanaan KTR, sebagian besar pemerintah daerah mendorongnya sebagai cara membatasi gerak dan hak perokok. Padahal, semangat KTR adalah semangat berbagi ruang.
Ini satu yang menjadi pertanyaan krusial, pihak pemerintah Kota Depok dalam menjalankan amanat KTR secara taat asas dan konsisten saja belum. Eh ini malah menyebut aktivitas merokok pejabat sebagai bentuk teladan yang tidak baik. Bahkan, mengarah pada upaya mencabut hak birokrat atas pilihan dewasanya itu.
Masyarakat memilih untuk merokok bukan karena dicontohi pejabat, wahai pak Wali. Perlu diketahui, orang menjadi perokok karena dirinya paham apa yang dibutuhkannya, baik itu untuk kebutuhan relaksasi ataupun kebutuhan sosial pergaulan.
Toh, manusia dewasa sudah bisa mempertanggungjawabkan keputusannya atas pilihan merokok ataupun tidak. Masyarakat sudah punya kesadaran kritis, bahwa produk konsumsi apapun namanya, niscaya memiliki faktor risiko.
Jangan lantas, cuma gara-gara ada satu dua tokoh sejawat Anda yang merokok kemudian malah dikambinghitamkan sebagai contoh buruk. Kalau memang Pemkot Depok belum mampu menerapkan KTR secara adil dan saksama, iya akui saja itu sebagai ketidakbecusan Anda sebagai pimpinan daerah. Jangan kayak anak kecil gitu ah, setaraf Walikota kok masih kekanak-kanakan begitu cara menyikapi persoalan kebijakan.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024