Dari tahun ke tahun, rokok sebagai barang legal kerap menjadi kontroversi di masyarakat dan media. Kontroversi ini kerap terjadi ketika rokok disandingkan dengan isu kesehatan. Namun, di balik segala kontroversi itu, ada fenomena yang juga menimbulkan pertanyaan publik yakni persoalan rokok ilegal.
Rokok tanpa cukai, yang oleh berbagai media disebut sebagai rokok ilegal, merupakan konsekuensi yang terus ditanggung pemerintah. Pemerintah berkewajiban untuk membuat keberadaan produk tak bercukai itu hilang dari pasaran.
Sebagaimana kita ketahui, rokok non cukai bukan hanya merugikan pendapatan yang seharusnya diterima negara. Namun, ada satu kenyataan yang membahayakan masyarakat akibat peredarannya yang marak. Peredaran barang ilegal yang dikonsumsi itu membahayakan lantaran tidak lolos sertifikasi yang dijamin melalui cukai.
Artinya, jika disandingkan dengan isu kesehatan, rokok tanpa cukai yang tidak jelas komposisinya inilah yang jelas-jelas berbahaya. Maraknya peredaran produk tersebut bisa kita tengarai dari beberapa data yang dilansir pihak pemerintah.
Walaupun operasi gempur untuk periode tahun 2021 telah dilaksanakan oleh seluruh satuan kerja vertikal secara serentak dan terpadu, dan sudah dilakukan sejak 2017. Fakta peredaran produk ilegal yang merugikan negara itu tak kunjung teratasi.
Bahkan, ketika Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, Askolani menjelaskan terdapat beberapa faktor mempengaruhi tingkat peredaran BKC (Barang Kena Cukai) di tengah pandemi Covid-19. Faktornya disebabkan oleh resesi perekonomian, tendensi konsumen beralih ke barang yang lebih murah (BKC ilegal), dan peningkatan potensi resistensi masyarakat terhadap penindakan BKC.
Bagi saya, analisa yang melatari peredaran rokok bermasalah itu masih kurang tepat. Bahwa sesungguhnya persoalan produk tanpa cukai itu merupakan akses dari regulasi cukai rokok yang melulu menitikberatkan pada pengedalian konsumsi, melalui kenaikan tarif cukai. Sehingga, tak terbantahkan, naiknya tarif cukai rokok selalu dibarengi dengan peningkatan peredaran rokok non cukai.
Merujuk survei Indodata pada tahun lalu, terdapat 28,12 persen perokok di Indonesia pernah atau masih mengonsumsi rokok ilegal. Jika angka tersebut dikonversikan dengan pendapatan negara, potensi pajak yang hilang bisa mencapai Rp 53,18 triliun. Temuan tersebut merupakan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Indodata terkait potret peredaran rokok ilegal di Indonesia. Tentu saja itu bukan angka yang kecil jika dibandingkan dengan alokasi untuk penegakan hukum berdasar skema DBHCHT yang diploting sebesar 10 persen.
Seringkali kita melihat adanya pemberitaan yang menitikberatkan pada laporan tentang pemusnahan barang-barang ilegal yang terazia. Sebagai contoh, terbaru ada sejumlah 797.192 batang rokok bermasalah yang dimusnahkan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Karimun, Kepulauan Riau.
Dari pemberitaan yang ada, masyarakat tentu tak meyakini sepenuhnya validitas angka dengan fakta di lapangan. Bukan apa-apa, dari angka yang terjaring dan yang dilaporkan bukan tidak mungkin ada permainan oknum yang memanfaatkan kondisi.
Jika kita mau lakukan investigasi lebih serius, tidak sedikit misalnya minuman impor yang terazia, kemudian masih ada beredar dengan harga murah di pasaran, cek saja via internet. Sehingga wajar, jika masyarakat mencurigai adanya permainan oknum yang tidak bertanggung jawab. Katakanlah, dari sekian jumlah yang dilaporkan ada sekian persen yang secara terselubung dijual lewat tangan lain ke pasaran.
Sebetulnya yang perlu dievaluasi bukan saja soal adanya potensi permainan para oknum yang memanfaatkan celah. Terlebih dari itu, soal metode pemerintah dalam upaya mengendalikan rokok tanpa cukai ataupula barang kena cukai lainnya.
Artinya, tindakan represif melalui razia dan penggerebekan itu sebetulnya tidaklah efektif jika ingin menekan angka peredaran produk ilegal. Sejatinya terdapat opsi preventif yang bisa diambil pemerintah melalui instrumen cukai.
Mudah saja, toh pemerintah sudah tahu betul, ritus di tiap tahun saban kenaikan tarif cukai akan berdampak setidaknya pada inflasi kebutuhan pokok, serta meningkatnya peredaran rokok murah tanpa cukai. Hal ini jelas berpengaruh terhadap psikologi pasar. Mestinya, tindakan preventif yang diambil pemerintah adalah dengan tidak menaikkan cukai rokok demikian tinggi.
Mesti ada pertimbangan logis, jika tarif cukai terus dibuat tinggi di atas 10%, dampaknya akan memukul langsung stakeholder pertembakauan, pelaku bisnis rokok bermodal kecil makin kelimpungan. Mereka jelas tidak kuat menangung beban produksi yang terus bertambah, dalam konteks produksi rokok, pabrikan kan harus membayar cukainya dulu baru bisa produksi.
Beban berat yang dialami pelaku bisnis rokok membuat mereka terpukul dan tidak sedikit yang akhirnya kukut. Tidak mampu membayar cukai dan menggaji pekerja. Hal itu tentu menimbulkan iklim yang kontraproduktif di tengah target pemerintah berupaya memulihkan ekonomi masyarakat.
Sekali lagi, mengapa bukan langkah preventif yang ditempuh pemerintah, jika pilihan untuk tidak membuat harga rokok menjadi mahal bisa dilakukan, kenapa justru terus dibuat makin tak terjangkau?
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024