Perkara rokok dan kesehatan tidak akan ada habisnya menjadi kontroversi di masyarakat. Isu kesehatan kerap menjadi tameng utama dalam upaya memusuhi tembakau. Tanaman vegetasi yang mengandung nikotin ini terus menjadi sorotan rezim kesehatan global.
Produk olahan berbahan baku rokok itu terus diperangi lewat instrumen pengendalian. Traktat pengendalian untuk memerangi rokok dan bahan bakunya, diatur-atur lewat produk kebijakan yang menghamba pada FCTC (Framework Convention Tobacco Control).
Traktat internasional ini telah ditandatangani oleh lebih dari 190 negara, dan Indonesia adalah satu dari tujuh negara yang belum menandatangani kerangka kerja pengendalian tembakau itu. Setelah hampir dua dekade FCTC diterbitkan oleh WHO, pertarungan dalam upaya menyingkirkan kultur pertembakauan di Indonesia tak kenal henti.
Telah banyak cara dilakukan gerakan antitembakau di Indonesia dalam upaya mematikan sumber pendapatan masyarakat agraris kita yang bergantung dari sektor rokok. Entah sudah berapa ratus milyar dolar dikucurkan untuk membiayai lembaga-lembaga riset dan kesehatan yang sibuk menyusun argumen untuk mendiskreditkan tembakau.
Isu terakhir yang masih menjadi desakan antirokok di Indonesia adalah isu revisi PP 109/2012. Semua upaya untuk pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC tetap berlangsung. Banyak lembaga-lembaga penelitian dalam negeri dan sejumlah ormas disusupi oleh kepentingan yang berasal dari kepentingan industri farmasi.
Di tengah itu, kita pasti ingat bagaimana regulasi cukai dijadikan pula sebagai instrumen untuk memukul Industri Hasil Tembakau (IHT) yang ada di Indonesia. Termasuk yang cukup repetitif adalah isu negatif yang menyasar rokok dan perokok. Banyak media yang turut serta membangun stigma negatif yang dialamatkan kepada rokok dan konsumennya.
Dari sini kita menemukan hal yang sangat relevan diungkap secara detail dan terbuka melalui buku Nicotine War, karya Wanda Hamilton. Buku langka hasil studi yang cukup mendalam ini barangkali di masa sekarang lebih langka lagi yang membacanya. Masa di mana perang nikotin makin merebak dan penikmat nikotin dipandang seolah melakukan dosa.
Sejumlah fakta ilmiah berdasar riset Wanda, pensiunan akademisi yang telah meraih gelar M.A tentang perang nikotin, mengungkap latar belakang perang itu terjadi, siapa saja pelakunya, serta motifnya. Tak semua orang paham memang, kepentingan ekonomi politik apa di balik perang nikotin sebetulnya
Perang nikotin ini adalah perang antara “zat nikotin alami dalam tembakau dan rokok” versus “senyawa mirip nikotin dan sarana pengantar nikotin”. Ada beberapa babak sejarah penting bila sepintas mengulik kronologi dari perang ini.
Dimulai pada 1962 ketika para ilmuwan Pharmacia mulai mencoba mengembangkan nikotin alternatif, yang dilatarbelakangi oleh laporan pertama Surgeon General tentang dampak merokok bagi kesehatan. Sejak saat itu mulailah ada pemikiran bagaimana merebut pangsa pasar rokok yang merupakan bisnis yang menjanjikan keuntungan luar biasa besar.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada kurun tahun 1969-an, beberapa perusahaan farmasi melakukan riset, membangun opini antirokok dengan berbagai bentuk kampanye, sampai konferensi-konferensi internasional.
Kemudian ditingkatkan dengan membuat berbagai aturan tentang pembatasan dan pelarangan rokok, pengendalian tembakau di suatu negara. Sejalan dengan kampanye, dikembangkan produk kesehatan alternatif dari rokok berupa senyawa pengantar nikotin seperti permen, pil, koyok, inhaler, dll.
Dari sini saja mulai nampak sebagai tujuan dari perang nikotin yaitu menawarkan produk baru dari industri farmasi. Dapat disimpulkan bahwa perang nikotin merupakan perang antara perusahaan farmasi dan perusahaan yang bergerak dalam industri tembakau.
Keduanya memiliki kepentingan sama besarnya di dalam sebuah medan untuk memperebutkan pangsa pasar pengguna nikotin. Bedanya ada di alat perangnya. Farmasi menawarkan Nicotine Replacement Therapy (NRT) sedangkan bisnis pertembakauan menawarkan rokok yang mengandung nikotin alami. Sampai di sini paham, ya?
Kembali ke peta perang terhadap tanaman berjuluk emas hijau ini di Indonesia, ditengarai sejak era presiden Habibie, pada masa kepemimpinannya PP Nomor 81 tahun 1999, tepatnya 5 Oktober 1999 diterbitkan. Di era ini, kesehatan menjadi prioritas penting yang tercermin dengan keluarnya prasasti Indonesia Sehat 2010.
Alih-alih bertujuan melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya merokok, menekan angka perokok pemula serta melindungi publik yang bukan perokok, regulasi ini justru mengatur kadar tar dan nikotin pada setiap batang rokok.
Tidak hanya itu, terdapat pula persyaratan promosi dan iklan rokok yang hanya dapat dilakukan di media cetak dan media luar ruangan; pengaturan tentang batas waktu berapa tahun penyesuaian persyaratan batas maksimal tar dan nikotin bagi produsen rokok kretek buatan mesin dan produsen rokok kretek buatan tangan.
Selanjutnya di era pemerintahan Gus Dur, regulasi ini diubah menjadi PP Nomor 38/2000 tentang Perubahan Atas PP 81/1999, pada tanggal 7 Juni 2000. PP 38/2000 ini memuat peraturan soal promosi dan iklan rokok dapat dilakukan di media elektronik dengan pengaturan masa tayang.
Kemudian, di era Megawati aturan tentang rokok lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan, terbitlah PP Nomor 19 tahun 2003. Aturan tentang batas tar dan nikotin sampai dengan batas maksimal dianggap tidak lagi efektif, mengingat kemajemukan endemik tembakau Indonesia yang memiliki kadar nikotin lebih tinggi dari tembakau asing.
Lanjut, pada era presiden SBY, regulasi terkait rokok dan kesehatan kembali menguat dengan keluarnya UU 36/2009 tentang Kesehatan. Undang-undang ini yang menjadi induk dari regulasi-regulasi turunannya.
Dalam UU tersebut, tepatnya di pasal 113, mengatur tentang pengamanan zat adiktif, salah satunya adalah produk rokok. Pada Pasal 116 dalam UU yang sama juga disebutkan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Sehingga kemudian terbitlah PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Berinduk pada PP 109/2012 itulah, pada gilirannya berbagai Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok muncul. Perlu dicatat lagi, Komunitas Kretek memberi andil dalam gugatan menyoal kata ‘dapat’ pada Pasal 115 ayat 2 tentang KTR dan ruang merokok, gugatan ini dikabulkan melalui Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi (No. 57/PUU-IX/2011) tentang keharusan penyediaan ruang merokok bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya.
Puncaknya pada era Jokowi, tahun 2016 menjadi titik awal kenaikan tarif cukai di atas 10%. Berdampak sangat besar terhadap peta pertembakauan di dalam negeri. Mengubah skema produksi bahkan komposisi produk kretek di Indonesia, salah satunya adalah cengkeh yang merupakan identitas bangsa yang memiliki kekayaan rempah.