Press ESC to close

Kampung Tanpa Rokok, Sudah Sesuaikah?

Hidup sehat adalah impian banyak orang di berbagai ruang. Terlebih pada era modern ini, yang mana kesehatan itu dimaknai dengan beragam cara. Pemerintah sendiri memiliki perhatian khusus dari produk tembakau yang dipungut cukainya, setiap tahun dialokasikan 50 persen lebih untuk JKN.

Tidak hanya itu, rokok pun dari sisi tata niaga serta aktivitas mengonsumsinya diatur secara ketat. Salah satunya dengan adanya aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok atau yang disebut KTR. Pada Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115, terdapat tujuh tempat yang disebut sebagai Kawasan Tanpa Rokok.

Mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, perkantoran tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Terkait pemukiman dan hunian, tidak secara spesifik disebutkan. Jika kemudian ada penerapan kampung tanpa rokok, seperti yang diterapkan di beberapa daerah, hal ini yang masih menjadi kontroversi dan perlu kajian lebih lanjut.

Misalnya, pada pemberlakuan kampung bebas asap rokok yang diterapkan di Surabaya. Tepatnya di Kampung Bulaksari—Kelurahan Wonokusumo, Kecamatan Semampir. Kabarnya pemberlakuan kawasan semacam itu diterapkan sejak tahun 2010.

Jika merujuk pada Perda KTR Surabaya No.2/2019, pada pasal 3 terdapat poin ‘h’ dengan keterangan ‘tempat lainnya’. Tanpa penjelasan spesifik yang lebih dapat dipahami dengan jelas. Artinya, poin tersebut tergolong multi tafsir sekali, dan dapat sesuka otoritas mendefinisikan poin tersebut.

Sebelum bicara lebih dalam tentang poin itu, pemberlakuan kampung bebas asap rokok di kampung Bulaksari ini didasari keinginan warga yang bertujuan menciptakan lingkungan yang sehat.

Kampung semacam itu, memang bukan kali pertama yang ada di Indonesia. Pada kesempatan yang lalu, situsweb Komunitas Kretek sempat pula mengulas Kampung Pelangi di Cirebon. Terkait upaya menciptakan lingkungan yang sehat dengan satu perhatia membatasi gerak perokok. Di beberapa daerah di Jakarta pun menerapkan jargon serupa; kampung tanpa rokok.

Baca Juga:  Kenaikan Tarif Cukai 2020 Mengurangi Jumlah Perokok? Omong Kosong!

Sejumlah daerah yang memperoleh predikat Kawasan Tanpa Rokok atau KTR, itu sebagai salah satu syarat kemudian untuk mendapatkan penghargaan Kota/Kabupaten Layak Anak. Daerah yang memiliki predikat itu adalah Kota Yogyakarta, Solo, Denpasar, dan Sawahlunto. Penerapan jargon kampung bebas asap rokok di daerah-daerah tersebut tebilang demikian masif.

Cara-cara yang dilakukan dalam mendiskreditkan perokok tak jauh berbeda, warga maupun tamu yang memasuki lingkungan tersebut akan kena tegur jika kelihatan merokok. Seperti halnya yang diterapkan di Bulaksari Surabaya, para pelanggar aturan tersebut itu umumnya perokok dari kalangan tamu dan pendatang, pengendara maupun pedagang.

Kampanye kesehatan yang menyasar pemukiman tinggal ini memiliki satu concern yang hanya menyasar rokok dan perokok. Sebagai produk legal, rokok mendapat stigma buruk bahkan disetarakan dengan Narkoba yang harus diperangi.

Kampanye semacam ini menjadi masif bukan tanpa alasan tentunya. Seperti terdahulu yang kita bahas, kampanye kesehatan yang mencap rokok sebagai biang kerok persoalan kesehatan ini tidak terlepas dari campur tangan kepentingan global. Ada agenda terselubung yang dimainkan oleh lembaga-lembaga antirokok dalam upaya menyingkirkan Industri Hasil Tembakau di Indonesia. Isu rokok dan kesehatan akan selalu dibenturkan dengan masyarakat yang dari waktu ke waktu diobrak-abrik kewarasannya, dibelah-belah dengan terminoloi kesehatan a la antirokok.

Sebagai kretekus, dalam konteks ini saya melihat adanya upaya yang sistematis dilakukan melalui gerakan antirokok di Indonesia yang menghamba pada skema pengendalian tembakau global. Termasuk halnya dengan menggunakan jargon kampung bebas asap rokok.

Jika itikad baik dari mencipta lingkungan sehat itu didasari mindset yang obyektif, tentu kita akan mengapresiasi dengan baik, sebagai suatu pencapaian yang istimewa. Namun, ditilik dari yang sudah-sudah terjadi, kampanye kesehatan yang dimainkan ke dalam lingkungan masyarakat justru menyasar pada upaya mendiskriminasi perokok.

Baca Juga:  Samosir, Harapan Baru Penghasil Tembakau

Beberapa kali, kegiatan merazia rokok dan perokok dari rumah ke rumah dilakukan. Seperti halnya yang pernah dilaksanakan di Bogor. Aparatur daerah mengkawal agenda tersebut layaknya melakukan razia terhadap barang ilegal saja, aktivitas merokok di rumah serupa melakukan tindak kejahatan. Perokok tidak lagi mendapatkan haknya sebagai pihak yang merdeka atas lingkungan privatnya. Lebay sekali tindakan aparatur semacam ini.

Pada beberapa kasus penerapan KTR, seringkali tak diimbangi dengan kesiapan yang serius. Dalam hal ini terkait penyediaan ruang maupun area bagi perokok untuk mendapatkan haknya merokok. Tiadanya edukasi dan pengawasan yang intensif.

Sementara, jika ditilik berdasar asasnya; UU Kesehatan Nomor 36/2009 Pasal 115 ayat 2, tempat yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok wajib menyediakan ruang merokok. Penerapan KTR yang tidak dibarengi semangat taat asas dan konsisten ini jelas akan membawa dampak buruk bagi marwah demokrasi di masyarakat.

Perilaku tidak taat asas ini berpotensi ditiru oleh para pihak yang menerapkan kampung bebas asap rokok. Otoritas setempat banyak yang terbawa karakter buruk semacam itu. Tentu tidak akan menjadi masalah, jika pada praktik penerapan KTR, masyarakat perokok tetap diberi haknya atas ruang merokok. Dibuatkan tempat khusus atau ditetapkan di satu sudut tertentu yang manusiawi.

Justru sebagian besar yang terjadi, jargon tersebut didasari semangat diskriminatif, menjadikan rokok sebagai musuh bersama. Banyak pihak menginginkan lingkungan yang sehat tapi tanpa didasari semangat berkeadilan, rokok dan kesehatan terus saja dibenturkan, apakah itu yang disebut kemanusiaan yang beradab?

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah