Bryan May yang dikenal sebagai musisi gaek dari band legendaris Queen dan Pink Floyd mengalami komplikasi akibat obat yang dikonsumsinya. Dalam sebuah pemberitaan, dia mendaku bingung kenapa komplikasi itu bisa terjadi. Padahal, dia tidak merokok, juga tidak mengonsumsi alkohol. Justru dia merasakan ledakan lambung luar biasa yang hampir membunuhnya pasca meminum obat.
Berdasar angiogram yang diterimanya, Bryan May diindikasikan memiliki tiga arteri yang tersumbat. Gitaris cum astrofisikawan Inggris ini memang sejak lama mengalami gangguan kesehatan jantung. Untuk itu, May harus menjalani terapi minum obat secara rutin untuk meredam sakit jantung yang dideritanya.
Untuk penanganan penyakit jantung itu terpaksa Ia harus dipasangkan tiga tabung ‘stent‘ kecil untuk menjaga aliran darah ke jantungnya. Menurutnya, hal buruk yang dirasakan justru kerap terjadi setelah adanya reaksi dari pengobatan penyakitnya tersebut. Legenda music rock ini merasa perlu lebih hati-hati lagi dalam menjalani hidup.
Pada usia yang sudah menginjak 73 tahun, Bryan May mengakui pentingnya melakoni pola hidup yang lebih baik untuk tetap menjaga kesehatannya. Meski Ia tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, bahkan rajin berolahraga, potensi serangan jantung yang dideritanya bisa kapanpun terjadi.
Pendarahan hebat yang dialaminya akibat terapi kesehatan untuk mengatasi sakit jantung itu menjadi ujian tersendiri bagi Bryan May. Tersirat bahwa pola hidup yang dijalaninya tidak menjamin dirinya terbebas dari serangan yang mematikan.
Dia memaparkan, gejala serangan jantung yang berlangsung selama 40 menit adalah kondisi serius yang terjadi ketika arteri yang memasok darah dan oksigen ke jantung menjadi tersumbat. Penyumbatan biasanya terjadi karena lemak, kolesterol, dan zat lain yang membentuk plak.
Sebelum serangan jantung terjadi, plak dapat pecah dan membentuk gumpalan yang menghalangi aliran darah. Aliran darah yang terputus dapat merusak atau menghancurkan bagian dari otot jantung. Gaya hidup sehat yang diyakininya dengan mengikuti anjuran kesehatan, bukan berarti membuat dirinya tidak terdampak oleh obat yang dianjurkan. Pada beberapa kasus, obat tertentu juga dapat terjadi kontraindikasi pada pemnggunanya.
Dalam konteks dunia perokok, misalnya, tidak jarang perokok termakan kampanye kesehatan yang menawarkan produk penganti ketergantungan rokok. Produk yang digadang-gadang lebih aman dari rokok konvensional.
Sementara, produk tersebut sama-sama mengandung nikotin, hanya cara mengonsumsinya saja yang diubah. Namun, tidak sedikit juga fakta yang terjadi yang berkebalikan terjadi dialami pengguna produk yang digadang-gadang lebih aman itu.
Sebagaimana yang kerap kita temukan dari berbagi narasi kesehatan, aktivitas merokok disebut-sebut sebagai salah satu pilihan konsumsi yang tidak sehat. Bahkan, sering dikaitkan sebagai biang kerok penyakit-penyakit mengerikan.
Pada gambar peringatan kesehatan yang tercantum di bungkus rokok, kita bisa temukan bagaimana rokok digambarkan sebagai sumber masalah kesehatan yang menakutkan. Konsumen rokok setiap waktu diteror ataupula ditakut-takuti akan bahaya kesehatan akibat mengonsumsi rokok.
Coba jika kita bercermin dari kasus yang dialami Bryan May, di usianya yang sudah bukan muda lagi, tentu memiliki kerentanan akan kesehatan maupun staminanya. Apalagi potensi terpapar virus Covid 19 di masa sekarang juga dapat menyerang siapapun. Laku kesehatan untuk tetap menjaga imunitas, yakni dengan berolahraga, tetap dilakoninya.
Namun, sebagaimana yang kita tahu juga, penyakit jantung ini terbilang silent killer. Sulit diprediksi kapan dapat menyerang penderitanya. Ikhtiar hidup sehat juga bukan jaminan seseorang terbebas dari ancaman penyakit mematikan itu.
Satu hal yang perlu ditanamkan di dalam kesadaran kita, bahwa pola hidup sehat bahkan terapi kesehatan yang dijalani seseorang tidak sepenuhnya membuat tubuh aman dari bidikan penyakit. Kita hidup di zaman yang penuh risiko. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita konsumsi, itu semua mengandung risiko. Tak terkecuali, rokok pun bukan berarti tak memiliki faktor risiko.
Kita harus ekstra hati-hati dalam memaknai pilihan konsumsi, termasuk pula obat-obatan tertentu yang meskipun itu dianjurkan oleh ahli kesehatan. Tidak sepenuhnya menjamin diri seseorang menjadi lebih sehat dari yang lain.
Terkadang, perokok dibuat jengkel oleh stigma pesakitan yang dialamatkan kepadanya, sehingga harus ditangani dengan berbagai cara tertentu menuruti narasi kesehatan yang dikampanyekan. Padahal, tidak berarti itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh tubuh setiap orang.
Sederhananya, setiap orang memiliki kapasitas kesehatan dan metabolisme yang berbeda-beda. Artinya, tidak bisa diseragamkan seturut aturan-aturan yang distandarisasi oleh kepentingan industri kesehatan. Jika merokok dapat memberi efek positif untuk merelaksasi diri, atau mengendurkan syaraf yang tegang, lantas kenapa harus dicap sebagai aktivitas yang membunuh. Sementara, tidak merokok bukan berarti tidak berpotensi terserang penyakit.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024