Selain momentum pembuktian bahwa rokok tidak adiktif, bulan puasa juga jadi momen bagi perokok untuk menunjukkan sekaligus mengampanyekan sikap toleran. Maksudnya, umat muslim di seluruh dunia kini tengah menjalankan ibadah puasa, dan aktivitas merokok jadi salah satu yang dihindari untuk dilakukan di ruang publik. Lalu, bagaimana nasib para perokok yang tidak wajib berpuasa? Inilah momen pembuktian sikap toleran perokok.
Saya perokok, dan saya tidak wajib berpuasa. Aktivitas merokok yang biasanya bisa dilakukan di ruang publik, sementara ini harus saya hentikan. Hal ini semata-mata bentuk sikap saling menghargai karena teman-teman perokok yang muslim tengah berpuasa. Lain hal jika sudah lewat waktu berbuka, tentu kita bisa kembali normal; merokok di ruang publik.
Sementara bulan ramadhan berjalan, aktivitas merokok berkurang. Sekalipun ingin merokok di siang hari, ya boleh saja (sekali lagi, karena saya tidak berpuasa). Tinggal bagaimana strategi merokok itu dilakukan. Ini merupakan refleksi sekaligus saran bagi teman-teman perokok lain yang non muslim. Kalau mau merokok di siang hari, usahakan agar tidak melakukannya di ruang dan lokasi yang terbuka. Cari ruang yang lebih privat. Bisa di rumah, kost, atau di mana pun yang merupakan ruang privat kalian. Kalaupun di ruang publik, carilah tempat yang lebih tertutup.
Di media sosial kita ada banyak perdebatan di tiap menjelang dan ketika bulan puasa. Perdebatan yang dimaksud adalah soal boleh atau tidaknya seorang non muslim untuk makan, minum, atau bahkan merokok di ruang publik. Perdebatan tersebut kerap kontraproduktif. Bahkan cenderung mengarah ke perpecahan.
Alhasil, manifestasi dari perdebatan tersebut terlihat dari keributan soal razia warteg atau tempat makan lain yang buka di bulan puasa. Ada yang berpendapat pihak yang berpuasa harus menghargai yang tidak wajib puasa. Ada juga yang sebaliknya, justru yang tidak berpuasa yang seharusnya menghargai. Terus begitu sampai lebaran tiba. Kemudian berulang di bulan puasa selanjutnya. Kontraproduktif, bukan?
Sebagai perokok santun, hal semacam ini harusnya tidak menjadi perkara besar. Balik lagi, tinggal kesadaran untuk saling menghargai saja. Tidak merokok di siang hari tidak akan membuat kita sakau. Jadi, ya ditahan saja dulu, mengurangi porsi sementara waktu. Lagipula, meskipun merokok dilegalkan namun porsinya tetap harus diatur, apalagi di bulan ramadhan. Seperti layaknya juga makan dan minum, kalau berlebihan pun tak baik untuk kesehatan badan.
Kampanye perokok santun selama ini juga bagian dari melatih diri. Di hari biasa (bukan di bulan puasa), perokok santun melatih diri untuk tidak seenaknya merokok di ruang publik ketika ada anak kecil dan ibu hamil. Kita juga melatih diri untuk tidak merokok di dalam transportasi umum. Juga tidak merokok saat sedang berkendara, baik motor maupun mobil. Perihal menahan hasrat merokok, bagi perokok santun, harusnya jadi hal yang lumrah. Sehingga ketika momentum bulan puasa tiba, kita tidak perlu terlibat perdebatan yang memakan energi.
Kelompok antirokok selalu melabel rokok dengan sebutan adiktif. Seolah sel tubuh serta seluruh jaringan syaraf kita akan mengalami gangguan kalau tidak merokok. Tak jarang juga diasosiasikan dengan narkoba. Dikira kita sakau kalau menahan keinginan merokok. Berlebihan sekali. Nah, dengan menahan diri, selain bentuk toleransi, kita telah turut dalam perlawanan pada stigma yang dibangun antirokok.
Kita juga membuktikan bahwa berhenti merokok itu mudah. Tidak perlu menjadi pasien klinik dan layanan berhenti merokok. Label “adiktif” itu sengaja disematkan agar para perokok yang ingin berhenti merokok berbondong-bondong ke klinik yang digarap oleh antirokok juga. Bisa-bisanya.
Jadi, bagaimana nasib perokok yang tidak wajib berpuasa? Ya, gak gimana-gimana. Biasa saja. Kalau ada perokok yang tetap konyol merokok di jalanan saat bulan puasa, itu cuma oknum. Eh, kita boleh ikutan berlindung di balik kata “oknum” gak sih?
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022
Leave a Reply