Takjub saya dengan mantan Presiden Megawati menyoal kepeduliannya terhadap bencana kebakaran yang kerap mengancam pemukiman penduduk. Itikad Ibu Mega ini memang layak diapresiasi. Hanya saja menjadi bias lantaran dikaitkan dengan kebiasaan bapak-bapak merokok.
Pasalnya, dalam konteks pernyataannya itu, bapak-bapak atau para suami dituding enggan menyisihkan dana untuk membeli alat pemadam api ringan (APAR). Digadang-gadang lebih mementingkan membeli rokok ketimbang alat pengaman tersebut.
Persoalan penanganan bencana memang sangatlah penting menjadi perhatian. Apalagi jika kita mau kritisi, sebagian besar perkara kebakaran di pemukiman masyarakat berasal dari keteledoran manusia. Misalnya saja, dalam hal mematikan kompor.
Memang sih terkesan kontekstual, pernyataan itu disampaikan sewaktu Ibu Mega melakukan demo memasak tanpa minyak goreng bersama partainya yang berlogo banteng itu. Kegiatan demo memasak itu merupakan respon atas pernyataan beliau sebelumnya dalam sebuah video viral yang menyindir keresahan ibu-ibu terkait kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng.
Banyak pihak mengkritisi video viral Megawati yang menyarankan ibu-ibu untuk tidak melulu memasak dengan metode digoreng. Pernyataan yang tidak solutif, bahkan cenderung ceroboh, itu mengakibatkan dirinya menuai komentar beragam yang tidak sedap.
Sederhananya, sosok ibu yang juga politisi ini bukannya berempati terhadap kondisi sosial yang sebagian besar menjadi keresahan para ibu lainnya. Naif betul sih, aktivitas memasak ataupun menggoreng jika masih dianggap dominasi kaum perempuan.
Intinya, terkait persoalan minyak goreng ini memberi dampak besar terhadap sektor usaha masyarakat. Bukan hanya perkara domestik yang dialami masayarkat dalam hal menghadirkan makanan olahan di rumah. Persoalan kelangkaan minyak goreng sampai pada kenaikan harganya telah membuat masyarakat semakin miris di tengah proses pemulihan ekonomi akibat pandemi.
Jika kita kritisi lebih dalam lagi, mestinya pemerintah mengambil sikap yang tepat dalam kondisi semacam ini. Para tokoh publik yang menjadi panutan mestinya dapat mengambil langkah konkrit yang dapat meringankan beban masyarakat, bukan malah mencederai batin masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan Ibu Megawati, itu bukanlah satu sikap teladan dan bahkan tidak menjadi solusi yang membuat masyarakat semakin berdaya.
Kocaknya lagi, selanjutnya Ibu Megawati justru mempertontonkan suatu aktivitas yang biasa dilakukan oleh orang-orang pemasaran. Semacam mempromosikan produk piranti memasak yang memiliki teknologi mutakhir. Nyaris sulit kita membedakan, sebetulnya beliau ini berbakat jadi seorang politisi atau juru pemasaran suatu produk sih.
Coba tilik, pada konteks merespon bencana kebakaran yang diakibatkan oleh keteledoran dalam penggunaan kompor, kok ya malah menekankan pembelian APAR yang dikaitkan dengan belanja rokok para bapak?
Masyarakat kita sejatinya memiliki kemampuan taktis dalam penanganan kebakaran. Misalnya, dengan menyiapkan karung basah dan penyikapan yang tenang dan terukur. Itu sudah diakui dan dilakukan sejak lama di masyarakat kita yang kecerdasan serta keterampilannya teruji dari waktu ke waktu.
Mestinya, dalam konteks menyindir bencana yang terjadi di negeri ini, beliau dapat menilik akar persoalan bencana dari sisi human error. Ada persoalan bencana yang lebih serius dan perlu perhatian secara intensif, yakni bencana krisis moral.
Tilik saja dari bencana yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Gundulnya hutan-hutan di negeri ini yang dibabat habis demi alih fungsi lahan. Eksplorasi pertambangan yang mengabaikan fungsi-fungsi ekologis yang menjadi dasar keberlanjutan ekosistem hidup. Atau, kebakaran hutan yang memaksa masyarakat di Sumatera dan Kalimantan bekerja sambil menahan nafas. Lha kok malah nyindir bapak-bapak merokok yang cuma bakar rokok. Itu lho, ada yang bakar hutan.
Bencana yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan yang kerap terjadi, jelas berasal dari sifat serakah manusia yang mengingkari amanat ibu bumi. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar kepentingan pembangunan di berbagai lini kerap kali tak berselaras dengan kehendak alam.
Kebakaran akibat keteledoran dalam penggunaan kompor, sebetulnya tidak relevan jika diarahkan untuk membeli alat pemadam api ringan. Terlebih lagi sampai dikaitkan dengan pilihan konsumsi rokok masyarakat. Itu sangat jauh dari inti solusi yang diharapkan masyarakat.
Kalau saja Ibu Megawati lebih elok dalam kemampuan komunikasi publiknya, artinya lebih mengedepankan empati terhadap kondisi riil yang dialami masyarakat, niscaya beliau akan mendulang rasa kagum masyarakat.
Tentu saja hal itu akan berelasi dengan penilaian positif terhadap partai yang diasuhnya selama ini. Sungguh, inilah yang disesalkan oleh banyak pihak. Tiada solusi yang diberi, kok ya malah mencederai hati. Takjub saya jelas akan dimaknai sekadar basa-basi, seturut cara Ibu Megawati yang merespon persoalan masyarakat tanpa didasarkan rasa empati.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply