Akibat merokok sering kali diangkat media dari sisi isu kesehatan yang berujung menjelekkan rokok. Masyarakat sering kali dijejali repetisi info berbasis isu tersebut.
Rokok dituding sebagai biang kerok berbagai penyakit yang serba mengerikan. Mulai dari masalah jantung, stunting, TBC, termasuk yang tak kalah sering disebut di antaranya kanker.
Kalau kita mau kilas balik ke era dimana produk tembakau demikian mendapatkan tempat terhormat di dunia kesehatan. Jejaknya dapat kita tilik semasa penjelajah Portugis, Pedro Alvares Cabral, yang tiba di Brasil pada 1500-an, melaporkan bahwa betum (nama lain tembakau) dipakai untuk mengobati penyakit seperti kulit bernanah dan polip.
Kemudian di kawasan yang kini menjadi Meksiko, biarawan Spanyol bernama Bernardino de Sahagun belajar dari dokter setempat bahwa penyakit yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar pada leher dapat disembuhkan dengan membedah leher dan menaburkan daun tembakau yang sudah ditumbuk dengan campuran garam.
Pasca Bonsack menemukan mesin pembuat rokok, produksi rokok sukses digenjot dari hanya 40.000 batang hingga sekitar 4 juta batang dalam sehari. Menandakan betapa pesatnya minat pasar pada rokok di dunia Barat pada abad ke-20. Masa dimana para dokter turut menjadi juru promosi rokok, menjadi simbol pelaris produk tembakau.
Ketika dunia medis mulai menyoroti kebiasaan merokok pada 1920-an dan 1930-an, merek rokok Camel mencoba meyakinkan pasar dengan klaim bahwa kaum dokter merekomendasikan publik untuk merokok dan para dokter mengisap rokok Camel. Perusahaan rokok itu juga menyebut merokok direkomendasikan oleh para penyanyi untuk “mengusir ketidakmurnian pada organ tenggorokan yang sensitif”.
Di Amerika Serikat sendiri, pada awal abad ke-20, konsumsi rokok rata-rata yang semula hanya 54 batang per orang setiap tahunnya. Kemudian, pada 1965 konsumsi rokok di negeri Paman Sam ini melonjak menjadi 4.295 batang per kapita per tahun. persen pria dan 30 persen perempuan menghabiskan 100 batang rokok dalam setahun.
Produk tembakau yang di masa sekarang sering kali dikaitkan sebagai biang kerok dari beraneka penyakit berbahaya. Justru pada babak industri awal rokok, produk tembakau menjadi bagian penting dalam sejarah medis dunia.
Jika mau diitarik ke belakang lagi, yakni di abad ke-19, para dokter yang mengkaji anatomi dianjurkan merokok untuk menutupi bau jenazah yang menempel pada tubuh mereka. Para dokter dan apoteker dari Eropa serta-merta tertarik dengan penggunaan tembakau sebagai obat.
Pada jejak peradaban medis yang berkaitan dengan tembakau selanjutnya dari Wellcome Collection, museum sekaligus perpustakaan kesehatan, pipa atau rokok menjadi aksesori wajib bagi dokter, dokter bedah, dan mahasiswa kedokteran khususnya di ruang bedah.
Para medis dianjurkan mengonsumsi rokok secara bebas, di antaranya guna menutupi bau jenazah serta melindungi mereka dari ancaman penyakit yang timbul dari jenazah. Satu hal yang paradoks dengan zaman pandemi covid. Salah satunya, saat wabah penyakit merebak di London pada 1665, anak-anak diperintahkan mengisap tembakau di ruang kelas. Berbeda dengan di abad post truth ini, urusan rokok pun dikaitkan dengan stunting dan masalah gizi buruk anak.
Namun semua fakta medis yang berkaitan dengan tembakau di abad 19 sampai abad 20 itu bukan berarti taka da penentangan. Skeptisme dari ahli kesehatan juga ada. Hal ini mengingatkan kita kepada dokter asal Inggris bernama John Cotta, yang menulis sejumlah buku kedokteran dan ilmu sihir. Dia merenungkan pada tahun 1612, apakah tembakau bakal menjadi “monster dari banyak penyakit”.
Betul belaka apa yang direnungkan dokter asal Inggris itu. Setilah melintasi berbilang abad sejarah medis dan kegunaan tembakau. Muncul babak dari peta perang nikotin dimulai, tepatnya pada 1962 ketika para ilmuwan Pharmacia yang mulai mencoba mengembangkan nikotin alternatif, dilatarbelakangi oleh laporan pertama Surgeon General tentang dampak merokok bagi kesehatan.
Pasca temuan itu, berbagai penelitian lanjutan yang didanai industri farmasi melakukan upaya untuk merebut pasar perokok. Rokok distigma sebagai musuh dunia. Industrinya terus dipukul melalui skema pengendalian tembakau global yang didukung oleh rezim kesehatan dunia. Tujuannya untuk menggeser para ke produk alternatif tembakau.
Terkait penyakit-penyakit mengerikan seperti halnya kanker paru yang dikaitkan dengan rokok sebagai pemicunya, terlanjur dipercaya publik sebagai momok yang harus dimusuhi. Rokok digadang-gadang sebagai pemicu utama dari persoalan kanker paru.
Namun, kaitan rokok sebagai pemicu kanker paru yang sudah diamini banyak orang maupun kalangan medis. Belakangan dibuat cengang oleh hasil studi baru yang dilaporkan di jurnal Nature Genetics, para ilmuwan di Albert Einstein College of Medicine di New York, mengatakan bahwa kemungkinan beberapa perokok memiliki mekanisme atau ketahanan tubuh kuat yang membantu membatasi mutasi di paru-paru dan melindungi mereka dari kanker paru.
Hasil studi ini tentu saja menjadi salah satu bentuk sangkalan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dikabarkan dari hasil studi tersebut, hanya 10-20 persen perokok yang menderita kanker paru. Disebut pula bahwa perokok punya sistem kekebalan yang lebih baik dalam proses menekan mutasi sel di paru-paru.
Dari sisi ini, kita sebetulnya dapat memetic satu kesimpulan sederhana, bahwa beragam narasi kesehatan yang menyebut rokok sebagai faktor utama masalah kesehatan. Tidaklah dapat dijadikan sebagai sumber kebenaran satu-satunya, meskipun narasi itu berasal dari pihak otoritatif kesehatan. Biara bagaimanapun, rokok adalah produk kontroversi, selagi berstatus legal dijual di pasaran, itu tandanya produk tembakau masih memiliki nilai guna. Entah itu dari sisi kesehatan maupun dari sisi ekonomi. Tapi faktanya, negara masih mengandalkan pemasukan dari komoditas tembakau.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024
Leave a Reply